Demokrasi Indonesia: Jalan Panjang Menuju Kematangan Politik
Jakarta, turkeconom.com – Berbicara tentang demokrasi Indonesia ibarat membuka lembaran panjang sejarah bangsa. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga reformasi, demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan cermin perjalanan identitas nasional.
Jika ditarik ke belakang, konsep demokrasi sudah disisipkan sejak awal berdirinya republik. UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun, praktiknya tidak selalu konsisten. Era pasca-kemerdekaan ditandai dengan demokrasi parlementer (1945–1959), di mana partai-partai politik tumbuh pesat. Namun, kondisi politik saat itu sangat cair, rapuh, dan penuh pertarungan kepentingan. Pemerintah sering jatuh bangun akibat mosi tidak percaya di parlemen.
Tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli yang mengakhiri demokrasi parlementer dan memulai Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem ini, kekuasaan lebih terpusat di tangan presiden, meski masih dibungkus jargon kedaulatan rakyat.
Namun, perjalanan demokrasi Indonesia mengalami belokan besar pada masa Orde Baru (1966–1998). Presiden Soeharto memimpin selama 32 tahun dengan gaya demokrasi Pancasila, yang dalam praktiknya mengekang kebebasan politik. Partai politik dikooptasi, pers dikontrol ketat, dan kritik terhadap pemerintah bisa berujung represi.
Barulah setelah krisis ekonomi dan gelombang reformasi 1998, demokrasi Indonesia benar-benar menemukan babak baru. Reformasi melahirkan sistem multipartai, kebebasan pers, dan pemilu langsung—sesuatu yang kini menjadi wajah modern demokrasi Indonesia.
Seorang akademisi politik di Jakarta pernah berkomentar, “Demokrasi kita lahir bukan dari proses alami yang mulus, tetapi dari perjuangan, keringat, dan air mata.” Pernyataan itu terasa tepat, mengingat jalan demokrasi Indonesia memang penuh lika-liku.
Dinamika Demokrasi Pasca-Reformasi
Reformasi 1998 adalah titik balik. Dari sana, demokrasi Indonesia memasuki fase transisi menuju konsolidasi. Pemilu 1999 menjadi tonggak penting: rakyat kembali memiliki kebebasan memilih wakilnya secara lebih terbuka.
Sejak 2004, Indonesia menerapkan pemilihan presiden secara langsung. Sistem ini memberi rakyat kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang akan memimpin negara. Di sisi lain, sistem multipartai menghasilkan dinamika politik yang kompleks. Hampir setiap pemilu, ada koalisi besar yang dibentuk demi memenuhi ambang batas pencalonan presiden.
Kebebasan pers pun berkembang pesat. Media massa dan media sosial kini menjadi pilar penting demokrasi, meski di sisi lain juga membawa tantangan berupa banjir informasi, hoaks, dan polarisasi politik.
Fenomena lain yang muncul adalah partisipasi politik kaum muda. Generasi milenial dan Gen Z kini menjadi mayoritas pemilih. Mereka cenderung lebih kritis, lebih aktif di media sosial, dan tak segan menyuarakan aspirasi lewat demonstrasi atau petisi daring. Misalnya, gelombang protes mahasiswa terhadap UU Cipta Kerja pada 2020 menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup lewat suara generasi baru.
Namun, demokrasi pasca-reformasi bukan tanpa masalah. Praktik politik uang, oligarki, dan lemahnya akuntabilitas partai masih menjadi luka lama yang sulit sembuh. Demokrasi kita sering disebut sebagai “elektoral prosedural”—hidup dalam bentuk pemilu rutin, tapi belum sepenuhnya dalam substansi.
Tantangan dan Kritik terhadap Demokrasi Indonesia
Meski menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kualitas demokrasi Indonesia kerap dipertanyakan. Beberapa tantangan yang menonjol antara lain:
-
Oligarki Politik
Banyak pengamat menilai bahwa demokrasi kita masih dikuasai oleh segelintir elite dengan modal besar. Mereka mampu mengendalikan partai politik, sehingga rakyat sering merasa hanya jadi penonton. -
Praktik Politik Uang
Dalam setiap pemilu, isu politik uang hampir selalu muncul. Dari skala desa hingga nasional, praktik ini merusak esensi demokrasi karena suara rakyat dibeli, bukan didengar. -
Polarisasi Politik
Media sosial sering memperuncing perbedaan. Dua kubu politik saling serang, sementara diskusi rasional kerap tenggelam oleh narasi emosional. -
Kebebasan Sipil
Meski pers lebih bebas dibanding masa Orde Baru, kasus-kasus kriminalisasi aktivis, pembatasan kebebasan berpendapat, dan kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi. -
Kualitas Legislasi
Banyak undang-undang dinilai tidak berpihak pada rakyat, lahir tanpa partisipasi publik yang memadai. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR.
Seorang mahasiswa hukum pernah menulis opini, “Demokrasi kita seperti rumah besar yang megah, tapi fondasinya rapuh.” Analogi ini menggambarkan bahwa demokrasi Indonesia punya kemajuan signifikan, namun masih rentan goyah jika tidak diperkuat.
Demokrasi dan Identitas Bangsa
Meski penuh tantangan, demokrasi tetap menjadi pilihan Indonesia. Alasannya sederhana: demokrasi dianggap paling sesuai dengan keberagaman masyarakat Nusantara. Dengan 270 juta penduduk, ratusan etnis, dan puluhan bahasa daerah, sistem demokrasi memberi ruang representasi yang lebih luas.
Prinsip musyawarah mufakat yang tertanam dalam budaya lokal juga sering dijadikan rujukan bahwa demokrasi bukan barang impor semata, melainkan punya akar di tanah air. Demokrasi Indonesia memang bukan copy-paste dari Barat, melainkan hasil adaptasi dengan nilai-nilai Pancasila.
Namun, di sisi lain, masyarakat masih mencari bentuk ideal. Ada yang menginginkan demokrasi lebih tegas dengan aturan kuat, ada pula yang menuntut kebebasan lebih luas. Perdebatan ini wajar, karena demokrasi adalah proses yang selalu bergerak.
Contoh nyata bisa dilihat saat Pilkada serentak. Di banyak daerah, masyarakat datang ke TPS bukan hanya untuk memilih pemimpin, tapi juga untuk merayakan pesta demokrasi dengan cara unik—ada yang membawa musik tradisional, ada pula yang menjadikannya ajang silaturahmi. Di sinilah letak khas demokrasi Indonesia: serius tapi tetap hangat.
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Pertanyaan besar muncul: ke mana arah demokrasi Indonesia di masa depan?
Beberapa pengamat politik optimistis bahwa demokrasi Indonesia akan semakin matang. Pemilu 2024 yang baru berlangsung menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, bahkan di tengah isu polarisasi. Hal ini menjadi tanda bahwa rakyat masih percaya pada demokrasi sebagai jalan perubahan.
Namun, masa depan demokrasi tetap bergantung pada banyak faktor:
-
Reformasi Partai Politik
Jika partai tidak berbenah, demokrasi akan terus dikuasai elite. Partai perlu lebih terbuka terhadap kaderisasi dan aspirasi rakyat. -
Pendidikan Politik
Generasi muda perlu dibekali literasi politik agar tidak mudah terjebak hoaks atau politik uang. -
Penguatan Lembaga Negara
KPU, Bawaslu, dan lembaga peradilan harus benar-benar independen agar pemilu bisa berjalan adil. -
Teknologi Digital
Demokrasi era digital membuka peluang partisipasi publik lebih luas. Namun, perlu regulasi yang bijak agar tidak justru memperparah polarisasi.
Seorang profesor politik di Yogyakarta menyimpulkan, “Demokrasi kita bukanlah tujuan akhir, tapi perjalanan panjang. Ia akan terus diuji, diperdebatkan, bahkan mungkin diguncang. Namun selama rakyat masih mau berpartisipasi, demokrasi tidak akan mati.”
Penutup
Demokrasi Indonesia adalah kisah tentang perjuangan, inkonsistensi, sekaligus harapan. Dari masa parlementer, terpimpin, hingga reformasi, demokrasi kita selalu lahir dari konteks sejarah yang penuh gejolak. Kini, meski menghadapi tantangan serius, demokrasi tetap menjadi pilihan yang paling masuk akal bagi bangsa sebesar dan seberagam Indonesia.
Bagi generasi milenial dan Gen Z, demokrasi bukan hanya soal mencoblos di bilik suara, tapi juga soal menyuarakan opini, berpartisipasi di media sosial, hingga turun ke jalan ketika kebijakan dirasa tidak adil.
Pada akhirnya, demokrasi Indonesia akan terus berjalan—tidak selalu mulus, kadang terhuyung, tapi selalu berusaha bangkit. Karena demokrasi, sejatinya, adalah refleksi rakyat Indonesia sendiri: penuh warna, penuh perbedaan, namun selalu punya cara untuk menemukan jalan bersama.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Politic
Baca Juga Artikel Dari: Laju Pertumbuhan Ekonomi: Dinamika, Tantangan, dan Peluang