Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila: Pilar Politik Indonesia yang Berakar pada Kearifan Lokal

Jakarta, turkeconom.com – Ketika banyak negara meniru model demokrasi Barat, Indonesia memilih jalannya sendiri.
Ia tidak menyalin, tapi menafsirkan — melahirkan konsep Demokrasi Pancasila, sebuah sistem politik yang tidak hanya berbicara tentang kekuasaan rakyat, tapi juga tentang moralitas, keadilan sosial, dan kebersamaan.

Demokrasi Pancasila lahir dari kesadaran bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya yang unik — berbeda dengan Eropa atau Amerika.
Bung Karno, dalam berbagai pidatonya, menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berjiwa gotong royong, tidak boleh menjadi arena pertarungan kepentingan pribadi atau partai semata.
Dengan kata lain, kebebasan dalam demokrasi Indonesia bukan kebebasan tanpa batas, tapi kebebasan yang dibingkai oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

Demokrasi ini tidak hanya memandang rakyat sebagai pemilih, tetapi sebagai penentu arah bangsa. Ia menempatkan musyawarah dan mufakat sebagai cara tertinggi dalam mengambil keputusan — bukan sekadar suara mayoritas, melainkan kebijaksanaan bersama.

Akar Historis: Dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila

Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Indonesia sempat mencoba beberapa bentuk demokrasi.
Pada masa 1950-an, sistem parlementer yang diadaptasi dari Barat dianggap sebagai wujud demokrasi modern. Namun, praktiknya justru memunculkan ketegangan politik, pergantian kabinet yang cepat, dan instabilitas pemerintahan.

Kondisi itu membuat Bung Karno mengambil langkah besar: memperkenalkan Demokrasi Terpimpin (1959–1965), yang menjadi cikal bakal Demokrasi Pancasila.
Konsep ini mencoba menempatkan kepemimpinan nasional di bawah kendali nilai-nilai Pancasila dan semangat persatuan, bukan pertarungan kepentingan politik sempit.

Pada masa Orde Baru, Soeharto kemudian mengembangkan konsep ini menjadi sistem politik formal bernama Demokrasi Pancasila — yang secara resmi dijadikan dasar bernegara, terutama sejak TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Meski dalam praktiknya sering dikritik karena terlalu terpusat, ide dasarnya tetap relevan: membangun demokrasi yang stabil, bermoral, dan sesuai kepribadian bangsa.

Prinsip Utama Demokrasi Pancasila

Berbeda dengan demokrasi liberal yang menekankan kebebasan individu, Demokrasi Pancasila menyeimbangkan hak dan kewajiban.
Ia berlandaskan lima sila Pancasila, yang masing-masing memberi warna tersendiri pada sistem politik Indonesia:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa:
    Setiap kebijakan politik harus berlandaskan nilai moral dan keimanan. Demokrasi bukan alat kekuasaan, tapi sarana menegakkan keadilan yang diridhai Tuhan.

  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
    Rakyat dihormati bukan hanya sebagai pemilih, tetapi sebagai manusia bermartabat yang harus diperlakukan adil dan beradab dalam setiap keputusan politik.

  3. Persatuan Indonesia:
    Perbedaan pendapat diakui, tapi tidak boleh memecah belah. Demokrasi diarahkan untuk memperkuat persatuan, bukan menumbuhkan konflik ideologis.

  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan:
    Di sinilah letak keunikan utama. Keputusan politik tidak hanya diambil melalui voting, tapi melalui musyawarah yang mencari kebijaksanaan bersama.
    Ini mencerminkan nilai gotong royong dan budaya diskusi masyarakat Nusantara.

  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:
    Demokrasi bukan hanya tentang hak memilih, tapi juga tentang pemerataan hasil pembangunan dan kesejahteraan bersama.

Dengan kelima prinsip ini, Demokrasi Pancasila berusaha menjadi jalan tengah antara sistem liberal yang bebas tanpa batas dan sistem otoriter yang mengekang kebebasan.

Ciri-Ciri Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Politik

Dalam praktiknya, Demokrasi Pancasila menampilkan ciri khas yang berbeda dari model demokrasi lain. Beberapa di antaranya meliputi:

  • Pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law):
    Tidak ada kekuasaan mutlak. Semua tindakan pemerintahan harus berdasarkan konstitusi dan peraturan yang berlaku.

  • Kedaulatan rakyat dijalankan melalui sistem perwakilan:
    Rakyat berdaulat, tapi pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga seperti DPR, DPD, dan MPR.

  • Keputusan diambil melalui musyawarah mufakat:
    Jika mufakat tidak tercapai, barulah diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak dengan tetap menjunjung etika kebersamaan.

  • Menjaga stabilitas dan keseimbangan nasional:
    Demokrasi tidak boleh menimbulkan perpecahan. Perbedaan politik harus disatukan dalam bingkai kepentingan nasional.

  • Adanya tanggung jawab sosial:
    Kebebasan berbicara dan berpendapat dijamin, tapi harus disertai kesadaran moral dan tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa.

  • Gotong royong dalam pembangunan:
    Demokrasi bukan hanya di ruang parlemen, tapi juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi, di mana partisipasi rakyat menjadi kunci pembangunan nasional.

Tantangan dan Relevansi Demokrasi Pancasila di Era Modern

Di tengah arus globalisasi dan media sosial, praktik Demokrasi Pancasila menghadapi tantangan baru.
Kebebasan berpendapat yang tak terbatas di dunia digital kadang melahirkan polarisasi dan ujaran kebencian.
Politik identitas juga sering dipelintir untuk kepentingan kelompok, bukan untuk kemaslahatan bersama.

Di sinilah nilai-nilai Pancasila kembali diuji.
Apakah kita masih mampu mempraktikkan musyawarah yang bijak di tengah banjir informasi dan emosi?
Apakah kita masih mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas ego pribadi?

Jawabannya bergantung pada kesadaran kolektif.
Jika Demokrasi Pancasila hanya dijadikan slogan tanpa penghayatan nilai-nilainya, maka ia akan kehilangan makna.
Namun jika dipraktikkan dengan kejujuran, ia bisa menjadi model demokrasi yang relevan bahkan di era digital — demokrasi yang berjiwa manusia.

Penutup: Demokrasi yang Berakar, Bukan Meniru

Demokrasi Pancasila adalah bukti bahwa Indonesia tidak hanya mampu meniru, tapi juga mencipta.
Ia tumbuh dari budaya musyawarah, rasa gotong royong, dan semangat persatuan yang menjadi DNA bangsa ini.

Di tengah dunia yang semakin pragmatis dan materialistis, Demokrasi Pancasila mengingatkan kita bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan perjuangan moral —
perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial, menjaga martabat manusia, dan membangun kebersamaan.

Seperti kata Bung Karno:

“Demokrasi kita bukan demokrasi barat, tapi demokrasi yang berkepribadian Indonesia.”

Dan selama Pancasila tetap menjadi kompas moral bangsa, demokrasi Indonesia akan selalu memiliki arah —
arah menuju keadilan, kemanusiaan, dan persatuan sejati.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Politik

Baca Juga Artikel Dari: Rantai Pasok Global: Nadi Ekonomi Dunia yang Tak Pernah Berhenti Berputar

Author