Inflasi Indonesia: Dampak Rakyat di Tengah Harga yang Naik Terus
Jakarta, turkeconom.com – Setiap kali kamu ke warung dan mendapati harga telur naik, atau merasa gaji bulanan makin cepat habis meski pengeluaran ‘katanya’ sama—itu adalah gejala dari Inflasi Indonesia. Tapi sebenarnya, apa sih inflasi itu?
Secara sederhana, inflasi kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Artinya, nilai uang kita mengecil karena barang yang dulu bisa dibeli dengan Rp10.000, sekarang butuh Rp12.000 atau lebih.
Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS) rutin mengukur inflasi bulanan dan tahunan. Mereka biasanya memakai Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk memantau fluktuasi harga dari kelompok pengeluaran utama seperti makanan, transportasi, perumahan, hingga kesehatan.
Kenapa kita harus peduli? Karena inflasi menyentuh hidup kita sehari-hari, bahkan kalau kamu bukan orang yang rajin mengikuti berita ekonomi. Dari harga beras, ongkos ojek online, sampai cicilan rumah—semua terpengaruh. Dalam skala makro, inflasi juga menentukan suku bunga bank, daya beli masyarakat, dan stabilitas ekonomi nasional.
Misalnya, saat inflasi tinggi, Bank Indonesia biasanya akan menaikkan suku bunga acuan (BI-Rate) untuk menahan laju konsumsi. Dampaknya? Kredit makin mahal, cicilan naik, tapi tabungan bisa lebih menarik karena bunga bank ikut naik juga.
Penyebab Inflasi di Indonesia: Dari Cuaca Ekstrem Sampai Harga Dunia
Inflasi bukan muncul dari ruang hampa. Di Indonesia, ada berbagai faktor yang saling berkaitan. Mari kita bedah beberapa penyebab utama inflasi dalam beberapa tahun terakhir:
a. Kenaikan Harga Pangan
Ini adalah pemicu paling sensitif. Indonesia, sebagai negara agraris, masih sangat bergantung pada cuaca dan distribusi lokal. Ketika musim kemarau panjang datang atau banjir merusak lahan pertanian, harga sayur, cabai, dan beras langsung melambung.
Tahun 2023, misalnya, inflasi bulanan melonjak akibat El Nino yang mengganggu panen padi. Harga beras naik lebih dari 15% di beberapa daerah. Bahkan harga cabai rawit sempat tembus Rp120.000/kg di pasar tradisional.
b. Faktor Global
Inflasi juga dipicu oleh kenaikan harga komoditas global, terutama minyak mentah. Ketika harga minyak dunia naik, ongkos produksi dan distribusi barang ikut naik. Ini disebut sebagai cost-push inflation.
Krisis energi di Eropa, konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, serta gangguan rantai pasok global saat pandemi jadi contoh nyata bagaimana ekonomi internasional memengaruhi dapur kita.
c. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah juga punya peran. Misalnya, saat harga BBM subsidi dinaikkan, efek domino langsung terasa di sektor transportasi dan logistik. Belum lagi saat terjadi perubahan tarif listrik atau cukai rokok, yang secara langsung memicu kenaikan harga barang konsumsi.
Kebijakan lain seperti pencabutan subsidi pangan, pembatasan ekspor-impor, atau bahkan restrukturisasi pajak bisa jadi pemicu inflasi yang muncul dari sisi regulasi.
Inflasi dan Generasi Milenial: Kenapa Gaji Cepat Habis?
Sebagian besar dari kita mungkin tak sadar bahwa gaji yang dulu cukup buat menabung, kini hanya bertahan sampai tanggal 20. Inflasi diam-diam merayap masuk ke gaya hidup masyarakat urban, terutama generasi milenial dan Gen Z pekerja.
a. Gaya Hidup Fleksibel Tapi Rentan
Milenial dikenal sebagai generasi yang mobile, digital, dan cenderung menghabiskan untuk pengalaman—bukan aset. Nongkrong di kafe, langganan streaming, pesan makanan lewat aplikasi, atau staycation bulanan.
Masalahnya, ketika inflasi naik, harga kebutuhan pokok pun naik, tapi gaji tidak otomatis ikut naik. Akibatnya, anggaran gaya hidup terpaksa dipotong, atau lebih parah, diambil dari dana darurat.
Contoh nyata? Seorang teman saya, desainer grafis lepas, bilang bahwa satu tahun terakhir ia harus mengurangi nongkrong dan langganan digital karena harga bensin dan sewa tempat tinggal naik drastis. “Gak berasa, tapi tiba-tiba transfer ke keluarga jadi kepotong terus,” katanya.
b. Cicilan, Kartu Kredit, dan Dana Darurat
Inflasi juga menekan cicilan KPR atau kredit kendaraan karena bank bisa menaikkan bunga sebagai respons. Belum lagi kalau kamu memakai kartu kredit untuk kebutuhan harian. Tanpa perencanaan matang, bunga kartu kredit bisa jadi jebakan ketika inflasi sedang tinggi.
Apalagi, mayoritas Gen Z belum memiliki literasi keuangan yang cukup kuat. Menurut survei OJK, masih banyak anak muda yang belum punya tabungan pensiun, asuransi, atau investasi jangka panjang.
Strategi Bertahan: Cara Nyata Menghadapi Inflasi Indonesia
Inflasi bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan sebagai individu, tapi kita bisa mengatur cara meresponsnya. Berikut beberapa strategi yang realistis untuk anak muda atau keluarga kecil menghadapi tekanan inflasi:
a. Revisi Anggaran Secara Berkala
Cek ulang pengeluaran bulanan. Pisahkan antara pengeluaran wajib (makan, sewa, transportasi) dengan gaya hidup (hiburan, belanja online). Dengan kondisi inflasi, idealnya alokasi untuk kebutuhan primer tidak lebih dari 60% dari total penghasilan.
b. Belanja Cerdas dan Hemat
Gunakan aplikasi perbandingan harga atau langganan promosi supermarket. Biasakan membuat daftar belanja, dan jangan tergoda diskon impulsif. Beli dalam jumlah besar saat harga murah juga bisa jadi strategi jangka pendek.
c. Naikkan Tabungan Dana Darurat
Saat inflasi tinggi, risiko ekonomi makin besar. Punya dana darurat minimal 3–6 bulan pengeluaran wajib akan sangat membantu jika terjadi pemutusan kerja, sakit mendadak, atau kebutuhan mendesak lainnya.
d. Pertimbangkan Investasi Anti-Inflasi
Reksa dana pasar uang, obligasi pemerintah (ORI, SBN), atau emas bisa jadi opsi. Emas, misalnya, cenderung stabil saat nilai rupiah melemah. Bahkan beberapa startup finansial kini mempermudah akses beli emas digital mulai dari Rp5.000.
e. Tingkatkan Penghasilan Tambahan
Cari side hustle atau kerja freelance. Banyak platform digital menyediakan peluang jasa, kursus online, atau jualan produk. Dengan penghasilan tambahan, kamu bisa lebih tahan banting saat pengeluaran tak bisa ditekan.
Bagaimana Pemerintah dan BI Merespons? Harapan dan Tantangan ke Depan
Di sisi makro, Bank Indonesia dan pemerintah punya peran kunci dalam mengendalikan inflasi. Mereka menggunakan berbagai instrumen moneter dan fiskal untuk menjaga kestabilan harga. Tapi, efektivitasnya tetap dipengaruhi oleh faktor global dan kondisi domestik.
a. Kebijakan Moneter BI
Bank Indonesia biasanya merespons inflasi dengan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate. Ini adalah suku bunga acuan yang memengaruhi suku bunga bank secara luas. Tujuannya untuk menekan konsumsi berlebihan dan menarik investor ke sektor keuangan.
Namun, langkah ini tidak selalu mudah. Naikkan bunga terlalu tinggi? Risiko pertumbuhan ekonomi melambat. Tidak naikkan bunga? Inflasi bisa tak terkendali.
b. Intervensi Pasar dan Subsidi
Pemerintah juga turun tangan lewat distribusi beras murah (SPHP), operasi pasar, dan pengawasan harga di pasar tradisional. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kartu sembako juga diberikan untuk kelompok rentan.
Sayangnya, distribusi program ini kadang tidak merata. Di beberapa daerah, harga tetap tinggi karena pasokan terganggu, infrastruktur terbatas, atau ulah tengkulak nakal.
c. Ketahanan Pangan Lokal
Salah satu langkah jangka panjang adalah membangun ketahanan pangan domestik. Artinya, produksi lokal diperkuat, akses distribusi diperbaiki, dan teknologi pertanian ditingkatkan agar kita tak terlalu bergantung pada impor.
Harapan ini makin relevan di tengah perubahan iklim dan ketegangan geopolitik yang bisa mengganggu rantai pasok global kapan saja.
Penutup: Inflasi Bukan Akhir Dunia, Tapi Pengingat untuk Lebih Adaptif
Inflasi Indonesia adalah tantangan nyata, bukan istilah asing yang cuma muncul di berita ekonomi. Ia hadir dalam bentuk harga cabai yang tiba-tiba melonjak, uang belanja bulanan yang serasa menguap, hingga bunga pinjaman yang terus naik.
Tapi seperti halnya badai, inflasi bukan hal yang abadi. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Menjadi lebih sadar dalam pengeluaran, berpikir cerdas soal pendapatan, dan membekali diri dengan literasi finansial yang cukup.
Dan semoga, baik sebagai individu maupun bangsa, kita bisa menghadapinya dengan kesiapan, bukan hanya keluhan.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi
Baca Juga Artikel Dari: Ekonomi Teoritis: Menyelami Dasar-Dasar Ekonomi dengan Santai