Membedah Valuasi Saham: Cara Menentukan Nilai Wajar Saham
Jakarta, turkeconom.com – Di lantai bursa yang riuh, para investor berusaha menebak-nebak: saham mana yang sedang “diskon”, mana yang justru terlalu mahal. Namun di balik spekulasi itu, ada satu senjata analitis yang digunakan oleh investor cerdas—Valuasi Saham.
Valuasi saham adalah proses menilai seberapa besar nilai wajar suatu saham berdasarkan berbagai pendekatan, baik dari sisi kinerja fundamental perusahaan, proyeksi pertumbuhan masa depan, maupun kondisi pasar. Tujuannya sederhana: untuk mengetahui apakah harga saham saat ini terlalu mahal, terlalu murah, atau sesuai dengan nilai wajarnya.
Mengapa Valuasi Penting?
Bayangkan kamu ingin membeli rumah. Tentu kamu akan mempertimbangkan luas bangunan, lokasi, usia bangunan, dan kondisi pasar. Nah, prinsip yang sama berlaku dalam membeli saham. Harga pasar bukan selalu cerminan dari nilai sesungguhnya. Ada kalanya pasar berlebihan dalam menilai potensi suatu perusahaan, dan di sanalah celah keuntungan berada.
Investor legendaris seperti Warren Buffett selalu menekankan pentingnya membeli saham di bawah nilai wajarnya. Prinsip “margin of safety” yang ia populerkan adalah hasil dari valuasi mendalam. Ketika orang lain panik dan menjual, Buffett membeli karena ia tahu—berdasarkan perhitungan—saham tersebut sedang “obral”.
Metode Valuasi Saham: Dari yang Sederhana hingga Rumit
Menilai harga wajar saham bisa sesederhana membandingkan rasio PE (Price to Earnings) atau serumit membangun model diskonto arus kas (Discounted Cash Flow/DCF) dari nol. Mari kita bedah metode-metode umum:
1. Price to Earnings Ratio (PER)
PER = Harga Saham / Laba Bersih per Saham
Jika saham A memiliki PER 10 dan saham B 20, maka A relatif lebih murah—dengan catatan kualitas laba keduanya sebanding. Investor sering membandingkan PER perusahaan dengan industri sejenis untuk mengetahui apakah suatu saham undervalued atau overvalued.
Contoh: Saham Bank XYZ memiliki PER 8, sementara rata-rata industri perbankan di 14. Ini bisa jadi indikasi bahwa saham Bank XYZ sedang murah, atau pasar khawatir akan risiko tertentu.
2. Price to Book Value (PBV)
PBV = Harga Saham / Nilai Buku per Saham
Khusus untuk perusahaan yang memiliki aset nyata signifikan seperti properti, manufaktur, atau perbankan, PBV memberikan gambaran seberapa jauh harga pasar dari nilai akuntansi perusahaan.
3. Discounted Cash Flow (DCF)
DCF menghitung semua proyeksi arus kas perusahaan di masa depan dan mendiskontokannya ke nilai saat ini. Ini adalah metode yang kompleks tapi paling “ilmiah”. DCF mempertimbangkan faktor risiko, tingkat diskonto, dan pertumbuhan laba.
DCF banyak digunakan oleh analis profesional, namun butuh banyak asumsi. Kesalahan kecil dalam proyeksi bisa menghasilkan valuasi yang sangat berbeda.
Studi Kasus: Valuasi Saham dalam Dunia Nyata
Untuk memahami bagaimana valuasi benar-benar memengaruhi keputusan investasi, mari kita lihat dua contoh nyata dari pasar Indonesia:
Kisah 1: Saham TLKM di Masa Pandemi
Di awal pandemi 2020, saham Telkom Indonesia (TLKM) anjlok tajam ke bawah Rp2.700 per lembar. Padahal, dari sisi fundamental, perusahaan tetap mencatatkan laba stabil dan memiliki pangsa pasar besar di sektor telekomunikasi. Rasio PER saat itu turun drastis ke angka di bawah 10, jauh di bawah rata-rata industri.
Investor yang berani membeli di titik itu—berdasarkan hasil valuasi—mendapat keuntungan luar biasa ketika harga kembali ke atas Rp4.000 dalam satu tahun.
Kisah 2: Saham Startup “Bubble”
Salah satu startup teknologi Indonesia sempat IPO dengan valuasi tinggi berdasarkan euforia pasar. Harga sahamnya naik tajam pada awal listing, namun dalam waktu kurang dari setahun, sahamnya anjlok hingga 70%. Investor yang hanya mengikuti tren tanpa melakukan valuasi, akhirnya terkena batunya.
Valuasi bukan hanya soal angka, tapi soal memahami bisnis. Jika valuasi tinggi tidak dibarengi potensi laba nyata, maka “gelembung” cepat atau lambat akan meletus.
Tips Praktis Melakukan Valuasi Saham untuk Pemula
Tak perlu menjadi analis profesional untuk bisa menilai saham. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh investor ritel:
1. Gunakan Rasio-Rasio Kunci
-
PER: cocok untuk perusahaan yang sudah stabil.
-
PBV: ideal untuk sektor perbankan dan properti.
-
PEG (Price/Earnings to Growth): untuk melihat valuasi relatif terhadap pertumbuhan.
2. Bandingkan dengan Industri
Lihat bagaimana perusahaan dibandingkan dengan kompetitor. Jika lebih murah dari pesaing padahal kinerjanya mirip atau lebih baik, itu sinyal positif.
3. Perhatikan Siklus Industri
Valuasi harus dikaitkan dengan waktu. Saham sektor komoditas misalnya, bisa terlihat sangat murah di puncak harga (karena laba besar tapi siklus bisa turun kapan saja).
4. Baca Laporan Keuangan
Ini bukan berarti kamu harus menghitung semuanya, tapi pahami tren: apakah pendapatan naik, utang menurun, margin membaik?
5. Gunakan Tools Online
Beberapa platform lokal seperti RTI Business, Stockbit, atau Bareksa menyediakan data valuasi dasar secara gratis. Manfaatkan untuk screening awal.
Valuasi vs Emosi: Jurang yang Harus Dihindari
Banyak investor yang tahu teori valuasi, tapi tetap gagal karena kalah oleh emosi. Saat harga saham turun, panik menyerang. Saat harga naik, serakah mengambil alih.
Valuasi adalah jangkar logika. Saat pasar bergejolak, kamu bisa tetap tenang jika tahu nilai wajar investasimu.
Anekdot Fiktif: Si Dafa Sang Investor ‘Kepo’
Dafa, seorang karyawan marketing, mulai berinvestasi saham karena tergiur cuan dari temannya. Awalnya, ia hanya beli saham berdasarkan bisikan teman kantor atau grup WhatsApp.
Namun setelah 3 bulan rugi terus, Dafa belajar valuasi dasar dari YouTube. Ia mulai menghitung PER dan PBV sendiri, mulai baca laporan keuangan, dan pelan-pelan keputusannya makin rasional.
Setahun kemudian, portofolionya mulai hijau. “Ternyata valuasi itu bukan sekadar angka, tapi juga pegangan akal sehat,” ujarnya sambil senyum-senyum di coffee shop.
Penutup: Seni Membaca Angka dan Naluri Bisnis
Valuasi saham bukan ilmu pasti, melainkan seni. Perlu data, intuisi, dan juga disiplin. Ia bukan alat ajaib, tapi kompas di tengah gelombang spekulasi.
Dengan memahami valuasi saham, kita belajar untuk tidak mudah tergoda tren sesaat. Kita mulai bertanya: apakah harga ini layak? Apakah bisnis ini benar-benar punya masa depan?
Karena pada akhirnya, investasi bukan soal cepat kaya, tapi soal membuat keputusan yang masuk akal berdasarkan informasi yang solid.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi
Baca Juga Artikel Dari: Lembaga Independen: Kunci Pengawasan dan Demokrasi!