Quantitative Easing: Jurus Pamungkas Bank Sentral Tengah Krisis
Jakarta, turkeconom.com – Bayangkan suatu hari kamu bangun, membaca berita ekonomi, dan melihat judul besar bertuliskan: “Bank Sentral Suntik Rp 500 Triliun ke Pasar Lewat Quantitative Easing”. Lalu muncul pertanyaan: Apakah itu berarti mereka mencetak uang? Apakah inflasi akan naik? Atau ini justru solusi dari krisis?
Kita hidup di era di mana uang tak lagi hanya tercetak di kertas, melainkan hadir dalam bentuk angka digital—dan dikendalikan bukan oleh pencetak uang, tapi oleh kebijakan. Di sinilah quantitative easing (QE) muncul sebagai salah satu alat kebijakan paling misterius namun kuat yang dimiliki bank sentral.
Apa Itu Quantitative Easing?
Secara sederhana, quantitative easing adalah kebijakan moneter non-konvensional di mana bank sentral membeli aset keuangan (biasanya obligasi pemerintah atau surat utang) dalam jumlah besar dari pasar terbuka. Tujuannya? Menambah likuiditas di sistem keuangan, mendorong pinjaman, dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Kalau bunga rendah sudah tak cukup lagi untuk mendorong ekonomi, QE hadir sebagai jurus pamungkas.
Sejarah Lahirnya QE dan Peran Kuncinya Saat Krisis Global
Untuk memahami kenapa QE bisa menjadi alat ampuh, kita perlu melihat sejarahnya. Kebijakan ini bukan sesuatu yang lahir dari teori semata. Ia lahir dari kondisi nyata: krisis yang membuat kebijakan biasa tak lagi efektif.
QE Pertama: Jepang, 2001
Bank of Japan adalah pelopor kebijakan QE. Saat itu, Jepang mengalami deflasi panjang dan pertumbuhan ekonomi stagnan. Suku bunga sudah 0%, tapi ekonomi tetap lemah. Maka BOJ mulai membeli obligasi pemerintah secara agresif. QE pun diperkenalkan ke dunia.
QE Populer: Amerika Serikat, 2008
Saat krisis finansial global 2008 menghantam, The Fed (bank sentral AS) menurunkan suku bunga mendekati 0%, tapi tetap gagal menggairahkan pasar. Akhirnya, mereka menggelontorkan ratusan miliar dolar lewat QE untuk membeli surat utang dan mortgage-backed securities.
Langkah itu sempat kontroversial, tapi banyak ekonom menilai QE berhasil mencegah depresi ekonomi baru.
QE di Masa Pandemi COVID-19
Tahun 2020, hampir seluruh bank sentral besar—termasuk Bank Indonesia—ikut menerapkan strategi serupa. Pandemi memukul pertumbuhan global, dan QE jadi penopang utama ekonomi. Kali ini, skalanya jauh lebih besar dan lebih cepat.
Bagaimana QE Bekerja dan Mengalirkan Dana ke Ekonomi Nyata?
Banyak orang salah kaprah dan mengira QE adalah tindakan “mencetak uang tanpa batas”. Padahal, mekanismenya jauh lebih teknis dan terstruktur.
Proses Teknis QE
-
Bank sentral membeli obligasi dari bank atau institusi keuangan.
-
Uang hasil pembelian itu masuk ke sistem perbankan.
-
Likuiditas meningkat → bank punya lebih banyak dana untuk dipinjamkan.
-
Suku bunga pasar jangka panjang turun → kredit lebih murah.
-
Investasi dan konsumsi naik → pertumbuhan ekonomi meningkat.
Bisa dibayangkan seperti menyuntikkan darah segar ke sistem ekonomi yang kekurangan oksigen.
Ilustrasi Nyata
Misalnya Bank Indonesia membeli obligasi negara senilai Rp 100 triliun dari perbankan. Maka bank yang tadinya punya surat utang, kini punya uang tunai. Uang itu bisa disalurkan dalam bentuk pinjaman modal kerja, kredit konsumtif, hingga pembiayaan sektor produktif.
Dengan kata lain, QE membuka kran uang tanpa menurunkan bunga lagi.
Dampak Positif dan Risiko yang Tak Bisa Diabaikan
Seperti dua sisi mata uang, QE memang bisa membantu ekonomi bangkit, tapi juga punya risiko yang tak kecil jika dilakukan secara berlebihan atau terlalu lama.
Dampak Positif
-
Menurunkan Suku Bunga Jangka Panjang: Investasi meningkat.
-
Mendorong Kredit dan Likuiditas: Ekonomi jadi lebih dinamis.
-
Membantu Pemerintah Membiayai Defisit: Pemerintah bisa mengeluarkan stimulus.
-
Menstabilkan Pasar Keuangan: Ketika investor panik, QE menjadi jaring pengaman.
Di Indonesia, Bank Indonesia pernah bekerja sama dengan Kemenkeu membeli Surat Berharga Negara (SBN) secara langsung selama masa pandemi. Hasilnya? Ekonomi tetap tumbuh meskipun dalam tekanan.
Risiko dan Tantangan
-
Potensi Inflasi Tinggi: Jika likuiditas berlebihan dan tidak diserap sektor riil.
-
Distorsi Pasar Obligasi: Harga surat utang bisa jadi tidak mencerminkan risiko sebenarnya.
-
Ketergantungan pada Stimulus: Pasar dan pelaku usaha bisa jadi terlalu bergantung.
-
Bubble Aset: Uang mudah bisa mengalir ke saham, properti, atau kripto secara tidak sehat.
Beberapa analis menyebut QE sebagai “painkiller ekonomi”—bukan penyembuh, tapi penunda rasa sakit. Jika digunakan tanpa exit strategy yang matang, bisa menimbulkan masalah baru.
Quantitative Easing dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
Indonesia bukan negara yang terlalu agresif dalam menerapkan QE, tapi sejak pandemi, strategi ini mulai masuk dalam toolkit Bank Indonesia.
Strategi Bank Indonesia
Saat krisis COVID-19, BI bekerja sama dengan pemerintah melalui program burden sharing: BI membeli SBN dengan bunga rendah untuk mendanai program pemulihan ekonomi nasional.
Langkah ini dianggap langkah berani namun terukur. Inflasi tetap terkendali, dan defisit fiskal bisa dikelola tanpa menyebabkan lonjakan utang luar negeri yang besar.
Tantangan Pasca QE
Kini, ketika ekonomi mulai pulih, tantangannya adalah bagaimana BI bisa menarik kembali likuiditas tanpa mengguncang pasar. Proses ini disebut sebagai normalisasi kebijakan moneter.
Salah satu caranya adalah menaikkan bunga secara bertahap, menarik likuiditas lewat operasi pasar, dan memperkuat daya serap kredit perbankan.
Apakah QE Akan Digunakan Lagi?
Mungkin, jika krisis berikutnya datang dan ruang fiskal kembali sempit. Tapi sekarang, banyak pihak menyarankan agar QE disiapkan sebagai alat darurat terakhir, bukan kebijakan utama yang digunakan terlalu sering.
Yang jelas, pelajaran terbesar dari era QE adalah: keseimbangan. Ekonomi tak cukup hanya digerakkan dengan uang. Tapi juga dengan kepercayaan, produktivitas, dan distribusi yang adil.
Penutup: QE, Antara Penyelamat dan Pedang Bermata Dua
Quantitative easing bukan sulap. Tapi dalam dunia ekonomi yang kompleks, ia menjadi instrumen yang terbukti bisa menyelamatkan sistem dari kehancuran. Namun seperti halnya obat kuat, QE harus digunakan dengan dosis yang tepat dan waktu yang terukur.
Bagi masyarakat umum, mungkin kita tak langsung merasakan pembelian obligasi oleh bank sentral. Tapi lewat kredit rumah yang lebih murah, cicilan usaha yang lebih ringan, atau stabilitas harga yang terjaga—semua itu adalah jejak nyata dari sebuah kebijakan bernama QE.
Kini, tantangan berikutnya bukan hanya tentang menyuntik dana, tapi memastikan dana itu menyentuh sektor riil, UMKM, petani, hingga digitalisasi ekonomi. Karena ujungnya, bukan seberapa banyak uang beredar, tapi seberapa adil dan efektif ia digunakan.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi
Baca Juga Artikel dari: Pertumbuhan Sektor Jasa: Pilar Utama Ekonomi Modern
Kunjungi Website Resmi: Bosjoko