Sejarah Politik Indonesia: Teriakan Merdeka ke Demokrasi Digital
Jakarta, turkeconom.com – Boleh jadi, kita tumbuh besar dengan pelajaran sejarah yang membosankan—deretan tanggal, nama tokoh, dan istilah yang terasa jauh dari kehidupan. Tapi Sejarah Politik Indonesia? Sebenarnya sangat hidup, bahkan sejak sebelum negara ini resmi berdiri.
Mari kita mulai dari awal abad ke-20. Waktu itu, Nusantara masih bernama Hindia Belanda. Di tengah penjajahan yang menindas, lahirlah gerakan-gerakan politik awal seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1912). Apakah ini partai seperti sekarang? Belum. Tapi mereka adalah bentuk awal dari politik rakyat: pergerakan kolektif, gagasan kemerdekaan, dan identitas kebangsaan.
Dan jangan lupakan Soekarno, yang pada usia 26 tahun mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Ia bukan hanya orator ulung—tapi juga simbol semangat melawan, meski harus keluar-masuk penjara dan pengasingan. Waktu itu, menjadi “aktif secara politik” artinya kamu siap ditangkap sewaktu-waktu.
Tapi bukan berarti rakyat diam. Dari diskusi di warung kopi, pamflet bawah tanah, hingga rapat rahasia di rumah-rumah, politik tumbuh sebagai bentuk perlawanan. Dan ketika proklamasi dikumandangkan 17 Agustus 1945, politik menjadi alat resmi untuk membangun arah bangsa.
Kalau dipikir-pikir, inilah titik nol sejarah politik Indonesia: ketika “politik” bukan sekadar urusan elite, tapi soal hidup-mati identitas kita sebagai bangsa merdeka.
Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru: Politik dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Setelah kemerdekaan, banyak yang berharap Indonesia akan jadi negara demokrasi seperti impian para pendiri bangsa. Tapi realitanya… rumit.
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) memang sempat memberi ruang politik yang terbuka. Banyak partai, debat di parlemen hidup, dan pemilu 1955 pun berlangsung relatif jujur. Tapi stabilitasnya? Parah. Kabinet jatuh bangun seperti hubungan toxic: tak ada yang bertahan lama, konflik ideologi kencang, dan ekonomi terseok.
Soekarno akhirnya mengumumkan sistem baru: Demokrasi Terpimpin. Dalam pidato populernya, ia bilang demokrasi ala Barat tak cocok buat Indonesia. Maka dimulailah era politik yang terpusat pada pemimpin tunggal. Parlemen ada, tapi tak terlalu berfungsi. Partai oposisi ditekan. Dan suara rakyat mulai samar.
Puncaknya? Tahun 1965. Tragedi G30S meletus dan menjadi jalan masuk bagi Soeharto, jenderal muda yang kemudian mengambil alih kekuasaan dan memulai era baru: Orde Baru (1966–1998).
Soeharto menjanjikan stabilitas, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi biayanya mahal. Kebebasan politik dikebiri. Hanya tiga partai yang boleh ada: Golkar, PDI, dan PPP—dengan Golkar sebagai ‘partai pemerintah’ yang selalu menang.
Bagi generasi ’80-an dan ’90-an, politik adalah sesuatu yang harus dihindari. “Jangan main politik, bahaya,” kata orang tua. Padahal, diam-diam, banyak aktivis, mahasiswa, dan jurnalis tetap bergerak di bawah radar.
Sampai akhirnya, semua meledak tahun 1998.
Reformasi dan Euforia Demokrasi: Ketika Rakyat Kembali Bicara
Saya masih ingat cerita dari kakak saya yang kuliah tahun 1998. Ia cerita bagaimana ribuan mahasiswa duduk di atap Gedung DPR, bersorak “Reformasi!” tanpa tahu apakah mereka akan disambut peluru atau perubahan.
Dan ternyata… keduanya datang. Soeharto mundur setelah 32 tahun berkuasa. Sebuah momen langka dalam sejarah Indonesia: pemimpin absolut tumbang bukan lewat kudeta bersenjata, tapi lewat gelombang rakyat dan tekanan mahasiswa.
Masuklah kita ke era baru: Reformasi.
Reformasi membawa banyak perubahan besar:
-
Kebebasan pers dan berpendapat dijamin.
-
Pemilu langsung mulai diterapkan, termasuk pemilihan presiden (2004).
-
Otonomi daerah lahir, memberikan kekuasaan lebih ke daerah.
-
KPK dibentuk, sebagai simbol pemberantasan korupsi.
Politik pun meledak dalam artian harfiah: ratusan partai muncul. Debat publik hidup. Kritik pada pemerintah jadi biasa. Tapi bersamaan dengan itu, muncul tantangan baru: polarisasi, korupsi yang belum juga hilang, dan politik uang yang makin vulgar.
Tapi tetap, dibanding era sebelumnya, kita akhirnya bisa memilih. Bisa bersuara. Bisa beda pendapat. Dan itu pencapaian besar.
Era Digital dan Netizen Politik: Demokrasi dalam Genggaman
Cepat atau lambat, politik pun masuk ke ranah digital. Hari ini, politik Indonesia tidak hanya terjadi di gedung parlemen, tapi juga di Twitter, TikTok, Instagram, dan YouTube.
Satu twit bisa mengubah opini publik. Satu video TikTok bisa membongkar kebijakan absurd. Dan satu meme bisa lebih efektif dari kampanye bertahun-tahun.
Contohnya? Kampanye 2014 dan 2019 menunjukkan betapa besar pengaruh netizen dalam membentuk narasi. Jokowi vs Prabowo bukan sekadar kontestasi politik, tapi juga perang narasi digital, lengkap dengan buzzer, troll, hingga influencer.
Muncul istilah baru: netizen +62, cyber army, bahkan cepat baper, cepat cancel. Politik menjadi lebih cepat, tapi juga lebih dangkal. Banyak anak muda mulai peduli, tapi sayangnya banyak juga yang hanya konsumsi potongan klip tanpa konteks.
Tapi jangan salah. Di balik kekacauan itu, ada ruang harapan. Muncul gerakan seperti:
-
Bijak Memilih, platform pemilu yang transparan dan edukatif.
-
#ReformasiDikorupsi, tagar yang hidup dari keresahan mahasiswa digital.
-
Influencer yang mulai open bicara soal HAM, lingkungan, dan hak minoritas.
Politik bukan lagi milik elit. Ia ada di story Instagram, di kolom komentar YouTube, di reply twit kocak. Apakah ini baik atau buruk? Tergantung bagaimana kita memanfaatkannya.
Menatap Masa Depan: Politik yang Relevan, Inklusif, dan Berkarakter
Pertanyaannya sekarang: ke mana arah sejarah politik Indonesia selanjutnya?
Beberapa hal yang tampak jelas:
-
Anak muda akan jadi penentu. Pada 2024, lebih dari 60% pemilih adalah Gen Z dan Milenial.
-
Politik identitas tetap kuat. Tapi perlahan, mulai banyak yang mempertanyakan “apa isi gagasanmu?” bukan “siapa asal-usulmu?”
-
Teknologi makin masuk ke ruang kekuasaan: e-voting, AI untuk analisa data pemilu, hingga chatbot kampanye.
-
Transparansi dan partisipasi publik jadi tuntutan, bukan kemewahan.
Dan di balik itu semua, satu hal tetap penting: kesadaran sejarah. Karena tanpa paham dari mana kita datang, kita rentan diombang-ambingkan janji politik tanpa arah.
Politik tak harus bikin alergi. Politik bisa dibicarakan tanpa harus berantem politik bisa jadi sarana ekspresi, perubahan, dan harapan. Tapi hanya jika kita melek, peduli, dan terlibat.
Penutup: Politik Itu Kita
Sejarah politik Indonesia bukan cuma soal presiden, partai, atau pemilu. Itu juga tentang kita—yang memilih, yang diam, yang bersuara, yang marah, yang harap-harap cemas.
Dan kisah ini belum selesai.
Karena setiap kali kamu klik “pilih” di bilik suara, RT twit kritik, atau berdiskusi dengan teman tentang kebijakan publik… kamu sedang menulis bab baru dalam sejarah politik Indonesia.
Jadi jangan cuma jadi penonton. Karena seperti kata pepatah klasik yang entah siapa penciptanya: “Kalau kamu nggak peduli politik, politik akan tetap peduli kamu.”
Baca Juga Artikel dari: Politics Today: What’s Driving Global Tensions in 2025
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Politik