Daerah Tertinggal

Mengurai Tantangan Ekonomi di Daerah Tertinggal: Realita, Peluang, dan Jalan Panjang Menuju Pemerataan

Jakarta, turkeconom.com – Ketika kita membicarakan pembangunan nasional, sering kali narasi yang muncul adalah kota-kota besar dengan segala hiruk-pikuk industrinya. Namun, di balik gemerlap pusat ekonomi, terdapat lanskap lain yang tak boleh dilupakan: daerah tertinggal. Dan di sini, cerita Indonesia terasa lebih manusiawi, lebih nyata, dan sering kali lebih kompleks.

Sebagai pembawa berita, saya pernah mengunjungi salah satu daerah yang masuk kategori tertinggal dalam daftar pemerintah. Sebuah desa di pedalaman Sulawesi yang jaraknya hanya lima jam dari kota besar, namun ekonominya tertinggal beberapa dekade. Jalanan menuju ke sana masih berupa bebatuan, sinyal telepon hilang muncul, dan satu-satunya pasar hanya buka dua kali seminggu. Namun justru dari sana saya menyadari: persoalan ekonomi daerah tertinggal bukan sekadar angka statistik. Ia hidup dalam rutinitas masyarakat, dalam akses yang terbatas, dan dalam pilihan-pilihan yang sempit.

Dalam artikel ini, kita akan membedah realita ekonomi di daerah tertinggal, faktor penyebabnya, potensi yang sering terabaikan, hingga bagaimana Indonesia mencoba merajut pemerataan pembangunan.

Memahami Apa Itu Daerah Tertinggal: Lebih dari Sekadar Label Administratif

Daerah Tertinggal

Istilah daerah tertinggal tidak muncul begitu saja. Ia merupakan kategori formal yang ditetapkan pemerintah berdasarkan enam indikator utama: ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Daftar daerah tertinggal biasanya diperbarui setiap lima tahun, dan jumlahnya masih puluhan. Fakta ini agak ironis mengingat Indonesia telah membangun banyak proyek besar, mulai dari pelabuhan internasional hingga ibu kota baru.

Namun, ketika berbicara dengan masyarakat lokal, “ketertinggalan” terasa lebih konkret. Seorang warga di Nusa Tenggara Timur yang saya wawancarai pernah mengatakan, “Kami bukan tidak mau maju, tapi jalan ke kebun saja rusak. Mau jual hasil panen pun susah.” Pernyataan sederhana itu menggambarkan masalah struktural yang dihadapi banyak wilayah: keterbatasan akses fisik yang menekan roda ekonomi.

Di beberapa wilayah Papua, komoditas lokal seperti kopi dan buah merah punya kualitas yang sangat baik, bahkan diminati pasar luar negeri. Namun akses ke sentra logistik sangat terbatas. Biaya kirim bisa lebih mahal dari nilai barangnya. Ketimpangan biaya seperti ini memperlihatkan bahwa pasar tidak bekerja ideal di daerah tertinggal.

Sementara itu, di Kalimantan bagian utara, tantangannya berbeda. Banyak daerah tertinggal justru kaya sumber daya alam, tetapi kurang dalam hal diversifikasi ekonomi. Masyarakat bergantung pada satu komoditas, misalnya rotan atau hasil hutan. Ketika harga komoditas jatuh, ekonomi lokal pun ikut merosot. Ketergantungan seperti ini menciptakan siklus rentan yang sulit diputus tanpa intervensi pembangunan jangka panjang.

Lebih jauh lagi, akses pendidikan dan kesehatan yang terbatas juga menjadi faktor yang memperkuat lingkaran ketertinggalan. Ketika sekolah jaraknya puluhan kilometer, generasi muda akan lebih fokus membantu keluarga di ladang daripada melanjutkan pendidikan. Akibatnya, produktivitas jangka panjang tidak meningkat.

Memahami konsep daerah tertinggal berarti memahami bahwa setiap daerah punya masalah unik. Tidak ada solusi tunggal. Dan di balik istilah teknis, ada kehidupan sehari-hari masyarakat yang terus berjuang untuk setidaknya mencapai standar layak.

Ekonomi Daerah Tertinggal: Potret di Balik Angka-angka Pembangunan

Ketika laporan ekonomi dirilis, angka-angka seperti pertumbuhan PDRB, tingkat kemiskinan, atau inflasi sering menjadi indikator utama. Namun bagi daerah tertinggal, angka-angka itu sering kali tidak mencerminkan dinamika lapangan. PDRB yang rendah bukan hanya soal minimnya aktivitas ekonomi, tetapi juga soal struktur ekonomi yang terlalu sempit dan tidak terintegrasi dengan pasar yang lebih besar.

Mari ambil contoh dari kawasan Indonesia timur. Banyak daerah tertinggal di sana memiliki mata pencaharian utama berupa pertanian atau perikanan tradisional. Namun pengetahuan mengenai manajemen hasil panen, pengolahan, hingga pemasaran masih sangat terbatas. Hasilnya, produk pertanian dijual mentah dengan harga rendah, sementara nilai tambahnya dinikmati kota-kota besar.

Saya teringat sebuah anekdot dari seorang pemuda petani jagung di Flores. Ia bercerita bahwa keluarganya menanam jagung sejak lama, tetapi tidak pernah tahu cara mengolahnya menjadi pakan ternak yang bernilai lebih tinggi. “Kami jual dalam karung saja,” katanya sambil tertawa kecil. “Padahal teman saya yang merantau bilang, itu kalau diolah bisa dijual dua kali lipat.” Kisah itu menunjukkan gap pengetahuan yang sebenarnya dapat diatasi dengan pendampingan teknologi tepat guna.

Sementara itu, birokrasi perizinan juga sering menjadi hambatan ekonomi. Banyak pelaku UMKM di daerah tertinggal yang sulit mendapatkan legalitas usaha karena proses administrasi yang rumit dan akses ke kantor pemerintah yang jauh. Banyak yang akhirnya beroperasi informal, sehingga sulit berkembang karena tidak bisa mengakses kredit bank.

Tak hanya itu, akses energi yang terputus-putus juga mempengaruhi ekosistem bisnis. Listrik padam mendadak membuat usaha yang butuh pendingin seperti toko ikan mengalami kerugian. Jaringan internet yang lemah membuat pemasaran digital tidak berjalan maksimal. Padahal, menurut sejumlah laporan, daerah yang memiliki konektivitas internet baik cenderung tumbuh lebih cepat.

Infrastruktur dan Aksesibilitas: Fondasi yang Menentukan Masa Depan

Dalam berbagai liputan media nasional, kita sering membaca bagaimana pemerintah menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun jalan, pelabuhan, hingga bandara. Tapi dampaknya tidak selalu terasa merata. Infrastruktur menjadi salah satu penyebab utama wilayah masuk kategori daerah tertinggal.

Di banyak desa di Maluku, transportasi laut menjadi satu-satunya akses mobilitas. Namun jadwal kapal kerap tidak menentu, akibat cuaca buruk atau gangguan mesin. Seorang nelayan pernah bercerita bahwa ia harus menunggu tiga hari untuk mengirim ikan segar ke kota. Hasil tangkapan yang seharusnya bernilai tinggi justru turun drastis karena terlambat sampai tujuan.

Di Papua, medan geografis yang rumit seperti pegunungan tinggi membuat pembangunan jalan membutuhkan waktu lama dan biaya sangat besar. Akibatnya, harga barang di sana melambung tinggi. Pernah saya melihat harga bensin dijual eceran hingga tiga kali lipat dari harga normal. Kondisi ini membuat biaya produksi usaha lokal juga meningkat, menciptakan beban ekonomi berlapis.

Konektivitas internet juga memainkan peran penting. Dalam beberapa tahun terakhir, proyek pembangunan jaringan serat optik nasional sebenarnya telah membantu banyak daerah. Namun coverage di daerah tertinggal masih terbatas. Sinyal yang tidak stabil membuat pelajar sulit sekolah daring saat pandemi lalu. UMKM pun kesulitan memasarkan produk mereka melalui platform digital.

Masalah infrastruktur bukan hanya soal ketiadaan jalan atau jaringan listrik. Ini soal bagaimana infrastruktur membentuk kesempatan ekonomi. Jalan yang rusak berarti akses pasar tertutup. Internet lambat berarti informasi dan peluang tidak sampai. Pelabuhan kecil berarti distribusi logistik mahal.

Peluang yang Tersembunyi: Ketika Daerah Tertinggal Justru Menyimpan Potensi Besar

Meskipun banyak tantangan, daerah tertinggal juga memiliki potensi ekonomi yang sering luput dari perhatian. Justru karena belum terjamah pembangunan besar-besaran, banyak wilayah yang menyimpan peluang subur, mulai dari wisata alam hingga komoditas unik.

Ambil contoh sektor pariwisata. Beberapa daerah tertinggal di Sulawesi Tenggara memiliki pantai berpasir putih yang bahkan lebih indah dari destinasi populer. Hanya saja, akses jalannya masih terbatas. Ketika akses diperbaiki, wilayah tersebut bisa menjadi magnet investasi baru. Contoh lain adalah desa adat di Nusa Tenggara yang menyimpan tradisi turun-temurun dan potensi wisata budaya yang kuat.

Lalu di bidang pertanian, banyak daerah tertinggal memiliki tanah yang justru sangat subur. Di Maluku, pala dan cengkeh — komoditas dengan sejarah panjang — sebetulnya memiliki peluang besar untuk menembus pasar internasional. Namun, kurangnya sistem pengolahan modern membuat komoditas itu tidak diberi nilai tambah optimal.

Di sektor perikanan, daerah seperti Halmahera dan Morotai punya sumber daya melimpah. Banyak nelayan bercerita bahwa ikan di lautan sekitar “tidak pernah habis.” Namun mereka kekurangan fasilitas cold storage, membuat hasil tangkapan sulit disimpan lama. Jika rantai pasok dingin diperbaiki, wilayah tersebut bisa menjadi pusat produksi perikanan unggulan.

Sementara itu, potensi energi terbarukan sebenarnya sangat besar di beberapa daerah tertinggal. Matahari melimpah sepanjang tahun, angin stabil, dan sungai deras. Jika energi terbarukan dikembangkan, biaya listrik murah bisa menjadi pendorong tumbuhnya industri kecil.

Bahkan sektor kreatif pun punya ruang tumbuh di daerah tertinggal. Generasi muda yang mulai mengenal internet menunjukkan kreativitas tinggi dalam membuat kerajinan tangan, konten digital, atau fesyen lokal. Hanya saja, mereka butuh akses pelatihan dan pasar.

Peluang-peluang ini menunjukkan bahwa daerah tertinggal tidak sepenuhnya berada dalam kegelapan ekonomi. Mereka hanya membutuhkan katalis: akses, pendidikan, modal, dan pendampingan. Ketika empat komponen itu hadir, daerah tertinggal bisa bertransformasi menjadi pusat pertumbuhan baru.

Jalan Menuju Pemerataan: Strategi, Kebijakan, dan Peran Generasi Masa Depan

Pertanyaan terbesar dalam isu daerah tertinggal adalah: bagaimana membuat pembangunan lebih merata?

Dalam sejumlah laporan ekonomi nasional, pemerintah mengusung beberapa strategi mulai dari pembangunan infrastruktur dasar, penguatan ekonomi lokal, hingga peningkatan kualitas SDM. Namun implementasinya membutuhkan waktu panjang dan kolaborasi lintas sektor.

Salah satu pendekatan yang kini dianggap efektif adalah pembangunan inklusif berbasis potensi lokal. Artinya, program ekonomi tidak lagi dipaksakan dari pusat, tetapi disesuaikan dengan kekuatan daerah. Jika daerah punya potensi pertanian organik, pemerintah mendorong hilirisasi. Jika daerah punya wisata alam, akses dan fasilitas diperkuat.

Selain itu, digitalisasi menjadi kunci penting. Dengan internet stabil, masyarakat desa dapat belajar keterampilan baru, memasarkan produk secara daring, hingga mengakses literasi keuangan. Digitalisasi memungkinkan daerah tertinggal “melompati” berbagai hambatan yang sebelumnya membutuhkan infrastruktur besar.

Namun untuk mewujudkan pemerataan, peran generasi muda sangat besar. Anak muda di daerah tertinggal kini semakin kreatif. Mereka membuat koperasi digital, usaha produk lokal, hingga komunitas belajar. Mereka menjadi jembatan antara budaya lokal dan peluang global. Dan ini harus didukung.

Sebagai penutup, daerah tertinggal bukan sekadar catatan administratif. Ia adalah bagian dari wajah Indonesia yang masih berjuang mengejar keadilan pembangunan. Di setiap sudutnya, ada cerita tentang harapan, ketekunan, dan peluang. Jika kita melihat lebih dalam, daerah tertinggal bukan hanya objek kebijakan, melainkan ruang masa depan yang menunggu disentuh oleh keseriusan kita semua.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi

Baca Juga Artikel Dari: Pemerataan Ekonomi: Upaya Membangun Keadilan, Peluang, dan Kesejahteraan untuk Semua

Author