Undang-Undang Ekonomi: Politik dan Kepentingan Finansial
Jakarta, turkeconom.com – Setiap kali kita mendengar kabar tentang undang-undang ekonomi, kesan pertama sering mengarah pada hal-hal teknis: pajak, perdagangan, investasi, atau subsidi. Namun, jika ditarik lebih dalam, sebenarnya undang-undang ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia lahir dari arena politik yang penuh dengan negosiasi, tarik ulur, bahkan kompromi yang tidak jarang jauh dari sekadar angka-angka fiskal.
Coba bayangkan seorang mahasiswa hukum ekonomi yang baru pertama kali masuk ke ruang sidang DPR. Ia mungkin membayangkan pembahasan serius soal tarif PPN, tetapi yang terlihat justru perdebatan panas antar fraksi, strategi lobi, bahkan pertarungan kepentingan. Dari sini terlihat jelas: undang-undang ekonomi adalah produk politik yang mengatur financial.
Apa Itu Undang-Undang Ekonomi?

Undang-undang ekonomi bisa didefinisikan sebagai seperangkat aturan hukum yang mengatur aktivitas ekonomi suatu negara. Cakupannya luas: mulai dari perpajakan, perdagangan, investasi, hingga perlindungan konsumen.
Contohnya:
-
UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan – mengatur aktivitas jual-beli, ekspor-impor, dan distribusi.
-
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal – jadi payung hukum untuk investor asing dan domestik.
-
UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) Tahun 2021 – yang sempat ramai karena kenaikan PPN.
Sekilas terlihat teknis, tetapi substansinya penuh warna politik. Angka 11% PPN misalnya, tidak serta merta muncul dari perhitungan ekonometrik semata, melainkan dari perdebatan antara pemerintah, DPR, pelaku usaha, hingga tekanan masyarakat sipil.
Dalam literatur hukum Indonesia, undang-undang ekonomi ditempatkan dalam rumpun hukum publik. Artinya, meskipun bicara uang, orientasi utamanya tetap pada relasi negara dengan masyarakat. Inilah yang membedakannya dengan hukum perdata murni, yang lebih mengatur hubungan antarindividu.
Proses Politik di Balik Lahirnya Undang-Undang Ekonomi
Tidak ada undang-undang yang jatuh dari langit. Semua melewati mekanisme politik. Proses pembentukan undang-undang ekonomi umumnya melalui:
-
Inisiatif Pemerintah atau DPR.
Pemerintah biasanya mengusulkan RUU dengan alasan ekonomi makro. DPR bisa juga mengajukan, meski lebih jarang. -
Pembahasan Panja atau Komisi.
Di sinilah lobi politik bermain. Misalnya, saat membahas UU Minerba, ada tarik-ulur antara kepentingan pengusaha tambang, pemerintah, dan fraksi politik. -
Uji Publik.
Walau formalitas sering dituding lebih dominan, inilah panggung masyarakat sipil, asosiasi pengusaha, atau akademisi untuk menyuarakan kritik. -
Pengambilan Keputusan Politik.
Keputusan akhir sering kali kompromi. Dalam kasus UU HPP, beberapa fraksi awalnya menolak kenaikan PPN, namun akhirnya menyetujui dengan alasan kebutuhan APBN.
Anekdot fiktif tapi realistis: seorang anggota DPR pernah berkata pada rapat tertutup, “Kalau kita tidak setuju kenaikan PPN, defisit APBN makin lebar. Tapi kalau kita setuju, konstituen bisa marah. Kita pilih yang mana?” Dari kalimat ini saja, terlihat bahwa faktor politik sangat kental.
Politik vs Financial – Mana yang Lebih Dominan?
Secara substansi, memang benar bahwa undang-undang ekonomi mengatur soal financial: berapa persen pajak, bagaimana mekanisme investasi, atau siapa yang dapat subsidi. Namun, arah dan keputusan akhirnya tetap politik.
Kita bisa ibaratkan seperti mobil:
-
Mesin = financial. Itu teknis, mengatur detail angka dan mekanisme.
-
Sopir = politik. Ia yang menentukan arah belok ke kiri atau kanan.
Kasus nyata bisa dilihat dari perdebatan Omnibus Law Cipta Kerja. Aspek ekonominya jelas: mempermudah investasi, memangkas birokrasi. Tapi faktor politiklah yang menentukan seberapa cepat undang-undang itu disahkan, meski diwarnai gelombang protes.
Jadi, jika ditanya condong ke mana, jawabannya: lebih condong ke politik, meskipun bermuatan finansial.
Dampak Politik dalam Regulasi Ekonomi
Ketika politik mendominasi, dampaknya terasa nyata:
-
Kebijakan Ekonomi Bisa Fluktuatif.
Misalnya, insentif pajak untuk kendaraan listrik. Bisa jadi tahun ini didukung penuh, tapi ketika rezim berganti, kebijakannya berubah. -
Kepentingan Kelompok Bisa Masuk.
Tidak jarang regulasi dibuat “pesanan.” Dalam UU Minerba, misalnya, ada kritik bahwa aturan lebih menguntungkan korporasi tertentu ketimbang rakyat. -
Keseimbangan Antara Rakyat dan Negara.
Politik juga bisa berperan positif. Ketika masyarakat menolak kenaikan harga BBM, DPR kadang menekan pemerintah untuk menunda atau memberi kompensasi. -
Kredibilitas Hukum Ekonomi.
Jika terlalu dipolitisasi, investor asing bisa ragu. Sebaliknya, regulasi yang stabil memberi kepercayaan pasar.
Di sinilah dilema utama: hukum ekonomi seharusnya objektif dan berjangka panjang, tapi realitas politik membuatnya kerap bergantung pada siapa yang berkuasa.
Masa Depan Undang-Undang Ekonomi Indonesia
Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang undang-undang ekonomi ke depan?
Pertama, kita perlu transparansi proses politik. Publik berhak tahu apa yang dibahas di balik layar, bukan hanya hasil akhir.
Kedua, partisipasi publik harus diperkuat. Misalnya, melibatkan akademisi, asosiasi bisnis, dan masyarakat sipil secara lebih substansial dalam uji publik.
Ketiga, stabilitas regulasi. Meskipun politik selalu berubah, hukum ekonomi harus tetap punya fondasi yang konsisten. Investor, pekerja, hingga masyarakat butuh kepastian, bukan sekadar aturan yang berubah tiap lima tahun.
Keempat, harmonisasi antara politik dan financial. Politik memang tidak bisa dihindari, tapi keputusan ekonomi seharusnya tetap berbasis data, riset, dan kajian ilmiah.
Kesimpulan
Undang-undang ekonomi adalah wajah nyata dari persilangan politik dan financial. Dari sisi isi, ia penuh angka, tarif, dan mekanisme. Tapi dari sisi proses, ia adalah produk kompromi politik.
Kalau harus memilih, maka undang-undang ekonomi lebih condong ke politik. Karena tanpa keputusan politik, semua rumus financial hanya tinggal teori. Namun, politik yang baik seharusnya mampu menjadikan regulasi ekonomi berpihak pada kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan segelintir kelompok.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Politik
Baca Juga Artikel Dari: Regulasi Pajak Indonesia: Pilar Ekonomi Tantangan Masa Depan










