Menyelami Sistem Parlementer: Cara Kerja, Kelebihan, dan Tantangannya
JAKARTA, turkeconom.com – Hubungan antara legislatif dan eksekutif sangat erat karena kepala pemerintahan (perdana menteri) berasal dari partai politik yang memiliki mayoritas di parlemen. Sebagai Sistem Parlementer seseorang yang tertarik dengan dinamika politik global, saya merasa sistem ini sangat menarik untuk dikaji karena memiliki keunikan tersendiri dibanding sistem presidensial.
Ciri Khas Sistem Parlementer
Pada dasarnya, sistem parlementer memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari sistem pemerintahan lainnya. Salah satu ciri utamanya adalah perdana menteri dipilih oleh parlemen, bukan langsung oleh rakyat. Selain itu, menteri-menteri kabinet biasanya juga berasal dari anggota parlemen. Karena itu, keterhubungan antara eksekutif dan legislatif begitu kuat. Bahkan, dalam beberapa kasus, parlemen bisa menjatuhkan pemerintahan melalui. Oleh sebab itu, stabilitas politik dalam sistem ini sering kali bergantung pada kuat atau lemahnya koalisi antar partai.
Sejarah dan Asal Usul Sistem Parlementer
Sistem parlementer pertama kali berkembang di Inggris. Sejak abad ke-13, institusi parlemen sudah mulai terbentuk sebagai penyeimbang kekuasaan raja. Dalam perjalanannya, sistem ini terus berevolusi hingga menghasilkan bentuk pemerintahan modern seperti sekarang. Menariknya, banyak negara bekas koloni Inggris seperti India, Australia, dan Kanada juga mengadopsi sistem ini. Tentu saja, mereka menyesuaikan penerapannya dengan kondisi sosial-politik masing-masing.
Kelebihan Sistem Parlementer
Tidak dapat dimungkiri, sistem parlementer memiliki banyak keunggulan. Pertama, sistem ini memungkinkan perubahan pemerintahan secara cepat jika terdapat krisis politik, tanpa harus menunggu masa jabatan habis. Kedua, adanya keterkaitan antara legislatif dan eksekutif membuat proses pembuatan kebijakan cenderung lebih harmonis. Ketiga, sistem ini juga memaksa partai politik untuk lebih bekerja sama melalui pembentukan koalisi. Oleh karena itu, parlementer sering dianggap lebih fleksibel dan adaptif.
Kekurangan Sistem Parlementer
Namun demikian, sistem ini juga tidak lepas dari kekurangan. Salah satu yang paling mencolok adalah potensi ketidakstabilan pemerintahan. Misalnya, jika koalisi partai tidak kuat, maka pemerintahan bisa jatuh kapan saja. Selain itu, sering terjadi pergantian perdana menteri dalam waktu singkat karena konflik internal. Tidak jarang, hal ini menyebabkan program-program pemerintah tidak berjalan optimal. Dengan kata lain, meskipun sistem ini dinamis, ia juga rawan terhadap gejolak politik.
Sistem parlementer terlihat lebih luwes. Dalam sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki kekuasaan yang relatif stabil selama masa jabatan. Namun, hal ini juga bisa menimbulkan kebuntuan politik jika legislatif dan eksekutif berasal dari partai yang berbeda. Sementara itu, parlementer lebih mudah beradaptasi karena eksekutif merupakan bagian dari legislatif. Meski demikian, setiap sistem tentu memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing.
Negara-Negara yang Menggunakan Sistem Parlementer
Ada banyak negara yang menerapkan sistem parlementer. Sebut saja Inggris, India, Jepang, Kanada, Australia, dan Jerman. Di Eropa, sistem ini sangat umum digunakan. Meskipun demikian, masing-masing negara memiliki variasi dalam penerapannya. Misalnya, Jerman memiliki parlementer yang bercampur dengan elemen presidensial karena adanya posisi presiden seremonial. Oleh karena itu, kita tidak bisa menyamaratakan penerapan parlementer di seluruh dunia.
Mekanisme Pemilihan Perdana Menteri
Pemilihan perdana menteri dalam parlementer tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Biasanya, partai politik yang memenangkan suara terbanyak di parlemen akan menunjuk pemimpinnya sebagai perdana menteri. partai yang menang mutlak, maka akan dibentuk koalisi antar partai. Dalam kondisi inilah negosiasi politik sangat berperan. Jadi, stabilitas politik sangat tergantung pada keberhasilan koalisi yang terbentuk.
Peran dalam Parlementer
Dalam parlementer, partai politik memegang peranan yang sangat penting. Partai tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan politik, tetapi juga sebagai penentu arah kebijakan pemerintahan. Oleh karena itu, disiplin partai sangat dijaga. Bahkan, yang diajukan oleh kabinet. Jika terjadi pembangkangan, bisa saja partai mencabut dukungan terhadap perdana menteri.
Hubungan Eksekutif dengan Legislatif
Hubungan eksekutif dengan legislatif dalam parlementer sangat erat. Bahkan, sering kali sulit untuk membedakan keduanya karena anggota eksekutif juga berasal dari legislatif. Hal ini membuat komunikasi dan koordinasi antara dua lembaga ini menjadi lebih mudah. Meskipun begitu, sistem ini tetap memiliki mekanisme pengawasan. Salah satunya adalah melalui komite-komite di parlemen yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.
Mekanisme Pengendali
Salah satu fitur penting dalam parlementer adalah mekanisme. Mekanisme ini memungkinkan parlemen untuk mencabut kepercayaan terhadap pemerintahan jika dianggap gagal menjalankan tugasnya., maka perdana menteri harus mundur atau mengajukan pembubaran parlemen untuk pemilu ulang. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga akuntabilitas dan kualitas pemerintahan secara terus-menerus.
Kinerja Pemerintahan dalam Parlementer
Karena berada dalam satu garis, kebijakan pemerintah dalam parlementer biasanya dapat dijalankan lebih cepat. Koordinasi yang solid antara keduanya mempercepat proses legislasi. Namun, jika koalisi tidak solid, proses bisa menjadi lambat dan penuh tarik-menarik. Saya pribadi pernah membaca studi kasus dari Italia yang menunjukkan bagaimana seringnya pergantian pemerintahan membuat kebijakan ekonomi negara tersebut berjalan tidak konsisten.
Sistem Parlementer dalam Konteks Indonesia
Indonesia sendiri menganut sistem presidensial. Namun, kita sempat mencoba sistem parlementer pada awal kemerdekaan, tepatnya antara tahun 1945 hingga 1959. Kala itu, sering terjadi pergantian kabinet karena ketidakstabilan politik. Meskipun parlementer memberikan ruang demokratis yang luas, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sistem ini belum cocok diterapkan di Indonesia saat itu. Akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang mengembalikan sistem presidensial.
Peran Media dalam Parlementer
Media massa juga memainkan peran penting dalam parlementer. Karena kebijakan pemerintah sering kali menjadi sorotan tajam, media bertindak sebagai penyambung lidah rakyat dan alat kontrol sosial. Dengan kata lain, media dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Bahkan, dalam beberapa kasus, media berperan dalam menggoyahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, yang kemudian memicu mosi tidak percaya di parlemen.
Peran Raja atau Presiden dalam Parlementer
Dalam parlementer, peran kepala negara cenderung simbolis. Misalnya, di Inggris, ratu tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung, tetapi tetap menjadi simbol negara. Begitu pula di Jerman, presiden berfungsi sebagai kepala negara tanpa kekuasaan eksekutif yang signifikan. Semua kebijakan ditentukan oleh perdana menteri dan kabinetnya. Fungsi kepala negara dalam sistem ini lebih ke arah menjaga stabilitas dan menjadi penengah dalam konflik politik.
Kondisi Krisis dan Stabilitas Politik
Ketika menghadapi krisis politik atau ekonomi, parlementer memiliki kelebihan dalam hal fleksibilitas. Pemerintahan bisa diganti tanpa perlu menunggu lima tahun seperti dalam sistem presidensial. Namun, di sisi lain, fleksibilitas ini bisa menyebabkan ketidakpastian politik. Oleh karena itu, sangat penting bagi partai politik untuk membangun koalisi yang stabil dan saling menghormati perjanjian politik.
Tantangan Koalisi dalam Parlementer
Pembentukan koalisi sering menjadi tantangan tersendiri. Tidak jarang, partai yang berbeda ideologi harus bekerja sama. Hal ini bisa memicu konflik internal jika tidak ada kesepahaman. Bahkan, dalam beberapa kasus, partai menarik dukungan dan menyebabkan jatuhnya kabinet. Dengan demikian, bukan hanya soal angka, tetapi juga soal komunikasi dan kesepakatan nilai.
Masa Jabatan dalam Parlementer
Berbeda yang menetapkan masa jabatan tetap, parlementer lebih fleksibel. Masa jabatan pemerintahan sangat tergantung pada dukungan parlemen. Jika pemerintahan kehilangan dukungan mayoritas, maka bisa saja terjadi pemilu dini. Meskipun begitu, beberapa negara menetapkan batas maksimal masa jabatan parlemen, misalnya lima tahun, untuk menjaga kesinambungan demokrasi.
Refleksi terhadap Sistem Parlementer
Sebagai penutup, sistem parlementer memang memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas dan efisiensi. Namun, ia juga membutuhkan kedewasaan politik yang tinggi dari para aktornya. Partai politik, parlemen, dan masyarakat harus berperan aktif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Jika sistem ini dijalankan dengan baik, maka ia bisa menciptakan pemerintahan yang responsif dan akuntabel. Sebaliknya, tanpa komitmen terhadap stabilitas, sistem ini bisa menjadi sumber ketidakpastian. Oleh karena itu, penting bagi setiap negara untuk menyesuaikan sistem pemerintahan dengan kondisi sosial, budaya, dan politiknya masing-masing.
Baca Juga Artikel Berikut: Oligarki Politik: Mengungkap Kekuasaan Tersembunyi