Politik Pemiskinan Rakyat: Narasi Lama Masa Kini
Jakarta, turkeconom.com – Pagi itu, di terminal kampung kecil di Jawa Tengah, Pak Sastro—penjual nasi kucing yang sudah 17 tahun mangkal di sana—memandang sepi. “Dulu orang antre. Sekarang, orang bahkan nggak sempat sarapan,” keluhnya lirih. Bukan karena nasinya naik, tapi karena penghasilannya pelanggan turun. Sepele? Tidak. Ini potret nyata dari sistem yang pelan-pelan menggiring masyarakat ke jurang tak kasat mata: kemiskinan struktural.
Dan di balik itu, berdiri satu istilah yang mungkin terdengar nyinyir bagi sebagian orang: Politik Pemiskinan Rakyat.
Istilah ini bukan tuduhan asal. Ini adalah refleksi dari suatu pola kebijakan dan kekuasaan yang—baik disengaja maupun tidak—membuat sebagian besar rakyat tetap berada di bawah garis sejahtera. Bukan karena malas. Tapi karena sistem tidak mengizinkan mereka naik kelas.
Mari kita bedah.
Politik pemiskinan rakyat merujuk pada mekanisme sosial, ekonomi, dan kebijakan publik yang mempertahankan ketimpangan. Seringkali dibungkus dalam retorika pembangunan, namun hasil akhirnya memperkaya segelintir elit dan memiskinkan jutaan orang.
Contohnya?
-
Subsidi dicabut atas nama efisiensi, tapi korupsi anggaran jalan terus.
-
Pajak yang progresif di atas kertas, tapi penerapannya lemah pada kelas atas.
-
Pendidikan dan kesehatan mahal, padahal konstitusi bilang sebaliknya.
Bahkan dalam praktik demokrasi pun, Politik Pemiskinan Rakyat uang dan transaksional justru melanggengkan figur-figur yang tak punya visi rakyat. Hasilnya? Kita memilih pemimpin yang sebenarnya tak memihak.
Dan ironi terbesarnya: ketika rakyat miskin, mereka jadi lebih mudah dikendalikan. Lebih mudah diberi sembako lima bulan sebelum Pemilu, lalu dilupakan setelahnya.
Sejarah Politik Pemiskinan Rakyat di Indonesia: Dari Kolonial ke Orde Baru
Kita tidak bisa bicara soal Politik Pemiskinan Rakyat tanpa menengok ke belakang. Ini bukan isu baru. Ini kisah lama yang diwariskan turun-temurun.
Di masa kolonial, praktik tanam paksa bukan cuma eksploitasi sumber daya. Ia juga menciptakan struktur ketergantungan. Rakyat disuruh menanam kopi, tebu, dan nila demi kas VOC—bukan untuk konsumsi atau perdagangan sendiri. Kemiskinan dipelihara agar kontrol tetap di tangan Belanda.
Lalu kemerdekaan datang. Harapan tinggi. Tapi transisi itu tidak serta merta mengubah struktur.
Di era Orde Baru, pembangunan memang masif. Jalan tol dibangun, sekolah gratis digaungkan. Tapi siapa yang benar-benar untung? Keluarga elite dan kroni bisnis.
Buku pelajaran zaman saya kecil dulu menyebut Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan.” Tapi di balik itu, petani dibiarkan bergantung pada pupuk bersubsidi dan program intensifikasi yang justru menguras tanah. Buruh digaji rendah demi investasi asing. Harga beras dikontrol, tapi nilai tukar petani stagnan.
Dan jangan lupakan cara mereka memanipulasi statistik.
Angka kemiskinan bisa “turun” hanya karena batasnya diturunkan. Yang sebelumnya miskin jadi “hampir miskin”, lalu dicoret dari data. Padahal, dari sisi realita, hidup mereka tak berubah. Ironis banget, kan?
Skema Modern Politik Pemiskinan: Dari Media Digital ke Gimmick Bantuan Sosial
Zaman berubah. Politik Pemiskinan Rakyat pun ikut adaptasi.
Di era digital ini, strategi makin licik. Banyak pemimpin sekarang pandai tampil di media sosial, menyajikan pencitraan empati lewat TikTok atau reels yang kelihatan “merakyat”. Tapi di balik layar, regulasi tetap tidak berpihak pada rakyat kecil.
Ambil contoh: ketika pemerintah membanggakan bantuan sosial digital berbasis aplikasi, tahukah kamu berapa persen warga desa yang bahkan tidak punya akses internet stabil? Apakah mereka betulan dibantu, atau justru makin tersingkir karena teknologi yang tidak inklusif?
Bansos jadi andalan tiap musim kampanye. Bukan masalah membantu—masalahnya adalah itu bersifat sementara, tidak menyentuh akar, dan sering jadi alat kontrol Politik Pemiskinan Rakyat.
Saya pernah ngobrol dengan seorang ibu di Karawang. Namanya Bu Rini. Ia bilang, “Kami dikasih beras dua kali sebulan, tapi harga listrik naik terus. Akhirnya ya tetap nombok, Mas.” Bantuan yang satu sisi, tapi membiarkan kebijakan lain yang memberatkan tetap berjalan.
Dan ada yang lebih halus: politik edukasi terbatas. Ketika literasi finansial, politik, dan digital masyarakat dibiarkan rendah, mereka jadi sulit bersuara. Sulit menuntut hak. Sulit memilih pemimpin yang benar.
Belum lagi regulasi tenaga kerja yang makin longgar. UU Cipta Kerja, misalnya, yang dibanggakan pemerintah sebagai pro-investasi, pada kenyataannya memperlemah perlindungan buruh. Banyak yang kontrak seumur hidup. Upah minimum tidak lagi jadi batas wajib. Lalu siapa yang menang?
Ketimpangan Ekonomi dan Wajah Baru Kemiskinan: Data yang Tak Bisa Dibantah
Kadang orang bertanya, “Apa iya, negara ini sengaja memiskinkan rakyat?”
Bukan selalu soal niat, tapi soal efek.
Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa 10% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 75% kekayaan nasional. Sementara 40% terbawah hanya menguasai… kurang dari 5%. Itu pun mayoritas dalam bentuk tabungan konsumtif, bukan aset produktif.
Kamu bisa lihat realita ini di Jakarta setiap hari. Di satu sisi, kafe artis dan apartemen mewah penuh reservasi. Di sisi lain, ojek online tidur di trotoar karena nggak cukup uang buat sewa kos.
Kemiskinan sekarang juga punya wajah baru. Namanya kemiskinan urban terselubung. Mereka punya HP, tapi nggak punya tabungan. Punya pekerjaan, tapi tanpa asuransi. Gaji UMR, tapi cicilan setengahnya. Hidup dalam ilusi stabil, padahal rapuh banget.
Apakah ini salah individu? Tidak sepenuhnya. Karena sistem ekonomi kita memang tidak inklusif. Investasi asing diberi insentif besar. Tapi koperasi lokal sekarat. Pasar modern tumbuh, tapi pedagang kaki lima digusur.
Politik Pemiskinan Rakyat tidak selalu datang dalam bentuk represi keras. Kadang, ia berwujud pengabaian sistemik. Tidak disediakan akses tidak diberi ruang. Tidak dilibatkan dalam proses.
Menuju Kesadaran dan Perubahan: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita mungkin tidak bisa langsung mengganti sistem. Tapi bukan berarti kita diam.
Langkah pertama adalah menyadari pola. Bahwa ada relasi kuasa dalam setiap kebijakan. Bahwa narasi “kerja keras pasti sukses” tidak berlaku sama rata untuk semua bahwa ada kelompok yang sejak awal tidak diberi titik start yang sama.
Langkah kedua adalah menolak politik transaksional. Jangan biarkan suara kita ditukar dengan minyak goreng. Edukasi orang sekitar. Ajari cara membaca kebijakan. Karena politik itu bukan milik politisi—tapi milik warga negara.
Langkah ketiga? Dukung ekonomi rakyat. Beli dari UMKM. Promosikan produk lokal. Bantu teman yang usaha. Karena sistem besar tidak akan berpihak kalau kita terus menguatkan korporasi besar sambil membiarkan tetangga kita bangkrut.
Terakhir, tekan kebijakan publik dengan suara kolektif. Petisi, forum warga, bahkan konten edukatif di media sosial bisa jadi alat resistensi. Jangan remehkan kekuatan satu thread Twitter atau satu video TikTok yang membuka mata ribuan orang.
Seperti kata Gus Dur: “Negara tidak boleh kalah dengan perusahaan. Dan rakyat tidak boleh diam ketika diperlakukan sebagai objek.” Kalimat ini masih relevan, bahkan mungkin lebih relevan dari sebelumnya.
Penutup: Politik Pemiskinan Rakyat Bukan Mitos—Tapi Kenyataan yang Bisa Kita Lawan
Politik pemiskinan rakyat bukan teori konspirasi. Ia nyata, meskipun tidak selalu terlihat. Ia bekerja dalam diam—lewat kebijakan, lewat pembiaran, lewat sistem pendidikan yang meninabobokan, dan lewat media yang mengalihkan fokus.
Tapi kita bisa melawan. Dengan suara. Dengan solidaritas dengan membangun narasi tandingan.
Karena rakyat yang sadar adalah rakyat yang sulit dibodohi. Dan itulah musuh terbesar sistem yang ingin kita tetap miskin.
Baca Juga Artikel dari: Disorientasi Kultural Indonesia: Saat Arah Budaya dan Politik
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Politik