Politik Anggaran Pembangunan

Politik Anggaran Pembangunan: Ketika Angka-angka Alat Kuasa

Jakarta, turkeconom.com – Suatu pagi, ruang sidang DPR RI tampak riuh. Bukan karena demo mahasiswa atau media yang berdesakan, tapi karena suara debat fraksi yang semakin panas—semuanya menyangkut satu hal: alokasi Politik Anggaran Pembangunan 2025.

Di luar sana, rakyat mungkin hanya melihat angka-angka triliunan dalam tabel APBN. Tapi di dalam ruang rapat itu, angka-angka itu lebih dari sekadar uang—mereka adalah simbol kepentingan, daya tawar, bahkan “modal politik” untuk pemilu berikutnya.

“Kalau dapil saya nggak dapat tambahan dana infrastruktur, bisa-bisa saya nggak kepilih lagi!” kelakar seorang anggota dewan dalam obrolan lepas yang saya dengar sendiri ketika liputan tahun lalu.

Politik anggaran pembangunan, sebenarnya bukan hal baru. Di banyak negara, termasuk Indonesia, urusan uang negara selalu punya irisan besar dengan urusan politik. Tapi, bagaimana politik ini bekerja secara spesifik? Dan apakah rakyat mendapat manfaat atau justru jadi korban tarik ulur kepentingan?

Memahami Mekanisme Anggaran: Dari Rencana Teknis ke Arena Politik

Politik Anggaran Pembangunan

Sebelum kita bahas lebih jauh tentang intrik dan kekuatan tersembunyi di balik penyusunan Politik Anggaran Pembangunan, mari kita pahami dulu bagaimana anggaran pembangunan itu disusun secara ideal.

Tahapan Ideal Perencanaan Politik Anggaran Pembangunan:

  1. RPJMN/RPJMD → Rencana jangka menengah pembangunan nasional/daerah

  2. Musrenbang → Musyawarah Perencanaan Pembangunan dari desa hingga nasional

  3. RKP → Rencana kerja pemerintah tahunan

  4. Nota Keuangan & RAPBN → Diajukan oleh Presiden ke DPR

  5. Pembahasan RAPBN oleh DPR (Banggar & Komisi)

  6. APBN disahkan & diundangkan

Secara teknokratik, Politik Anggaran Pembangunan dibentuk berdasarkan data, kebutuhan sektoral, dan proyeksi makroekonomi. Namun dalam praktiknya, tahap nomor 4 dan 5 sering jadi ajang negosiasi politik besar-besaran.

Di sinilah Politik Masuk

  • Fraksi di DPR mencoba memastikan daerah atau sektor prioritas mereka mendapat alokasi lebih besar.

  • Partai koalisi akan berusaha menyisipkan “proyek strategis” untuk memperkuat basis pemilih.

  • Kadang, proyek-proyek baru muncul bukan karena urgensi publik, melainkan urgensi elektoral.

Anggaran sebagai Alat Kuasa: Studi Kasus di Balik Angka

Kita masuk ke bagian paling menarik: apa yang sebenarnya terjadi di balik layar?

Mari kita ambil contoh fiktif tapi realistis:
Bayangkan seorang anggota DPR dari Partai X mewakili Dapil di Sumatra Selatan. Dalam RAPBN 2025, pemerintah pusat mengalokasikan dana pembangunan jalan nasional ke Jawa dan Kalimantan, tapi tidak menyebut wilayahnya.

Lobi Politik Dimulai

  1. Anggota dari Sumsel tersebut menekan komisi teknis untuk mengarahkan proyek ke wilayahnya.

  2. Ia menghubungi kementerian teknis dan membangun argumen bahwa Sumsel adalah “jalur logistik nasional yang strategis”.

  3. Tak cukup, ia pun meminta fraksi untuk membahasnya di rapat Badan Anggaran.

  4. Akhirnya, proyek senilai Rp500 miliar masuk ke APBN tambahan.

Semua terlihat normal di kertas. Tapi di baliknya, Politik Anggaran Pembangunan telah menjadi instrumen kekuasaan. Yang bisa melobi, yang punya posisi kuat, atau yang “satu kapal” dengan pemerintah pusat, lebih mudah mendapatkan kue pembangunan.

Anecdote: Seorang pejabat daerah di Sulawesi pernah curhat ke saya, “Kami sudah usulkan program sanitasi desa sejak 2019, tapi selalu kalah sama daerah yang ‘punya orang’ di pusat.”

Ketimpangan dan Keadilan: Siapa Dapat Apa?

Politik Anggaran Pembangunan

Pertanyaan besar dalam politik anggaran pembangunan adalah: Apakah anggaran benar-benar adil? Atau justru memperkuat ketimpangan?

Data Bicara:

  • Dalam 5 tahun terakhir, alokasi DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk infrastruktur cenderung lebih banyak ke provinsi yang menjadi basis partai penguasa.

  • DAU (Dana Alokasi Umum) kadang disalurkan lebih besar bukan berdasarkan kebutuhan fiskal, tapi karena kompromi politik.

  • Program seperti food estate, IKN, dan proyek strategis nasional (PSN), walau terdengar nasional, sebenarnya lebih menguntungkan beberapa kelompok elit.

Dampaknya?

  • Ketimpangan pembangunan antar daerah tetap lebar: Jawa vs luar Jawa.

  • Daerah tertinggal sulit mengejar ketertinggalan, apalagi kalau tak punya representasi kuat di pusat.

  • Efektivitas pembangunan menurun karena proyek bukan hasil perencanaan matang, tapi “hasil jatah”.

Catatan: Meski ada sistem perencanaan teknokratik, kenyataannya, kebijakan tetap bisa “dibengkokkan” untuk mengikuti arah angin politik.

Menuju Anggaran yang Demokratis: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Bukan berarti semua sudah terlambat. Politik anggaran pembangunan bisa diarahkan untuk benar-benar mewakili kebutuhan rakyat, asal ada kesadaran kolektif dan pengawasan publik.

Solusi dan Langkah Perbaikan:

  1. Transparansi Proses Anggaran

    • KPU dan DPR bisa membuka data pembahasan anggaran secara daring dan interaktif.

    • Masyarakat bisa melihat siapa usulkan apa, dan untuk siapa.

  2. Partisipasi Publik Lebih Aktif

    • Musrenbang jangan formalitas.

    • Komunitas sipil dan jurnalis harus mengawal anggaran dari hulu hingga hilir.

  3. Penguatan Peran BPK & KPK

    • Audit anggaran jangan hanya soal korupsi, tapi juga soal justifikasi proyek.

    • Proyek dengan “nilai politik tinggi tapi manfaat rendah” bisa dievaluasi.

  4. Desentralisasi Fiskal yang Adil

    • Perlu ada formula baru yang lebih pro kebutuhan, bukan pro kekuasaan.

  5. Pendidikan Politik Anggaran

    • Di sekolah, kampus, dan media, perlu digaungkan bahwa politik Politik Anggaran Pembangunan itu urusan semua orang. Karena yang menentukan rumah sakit dibangun atau tidak, jalan diperbaiki atau tidak—itu semua soal anggaran.

Seorang aktivis muda di Solo pernah bilang ke saya: “Politik anggaran adalah bentuk kekuasaan yang paling dekat ke rakyat. Tapi justru paling tidak kita awasi.”

Penutup: Anggaran Bukan Sekadar Nomor, Tapi Cermin Prioritas Bangsa

Anggaran pembangunan bukan hanya dokumen tebal berisi angka-angka. Ia adalah cermin dari siapa yang didengar, siapa yang dikesampingkan, dan ke mana arah bangsa ini dibawa.

Dalam negara demokrasi, politik memang tak bisa dilepaskan dari anggaran. Tapi politik tak harus kotor. Ia bisa jadi alat untuk memastikan semua warga, dari kota hingga kampung, mendapat bagian yang adil dari kekayaan negara.

Karena pada akhirnya, kita semua berhak bertanya: anggaran ini dibentuk untuk siapa? Dan apakah saya termasuk yang diperjuangkan?

Baca Juga  Artikel dari: Monetary Crisis: Waspadai Gejolaknya dan Siapkan Strategi

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Politik

Author