Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan: Panduan Lengkap dan Realistis Generasi Kerja

Jakarta, turkeconom.com – “Eh, kamu udah lapor SPT belum?”
Kalimat ini sering terdengar setiap awal tahun, terutama di kalangan pekerja kantoran atau pelaku usaha mandiri. Tapi di balik kalimat singkat itu, ada kompleksitas bernama pajak penghasilan yang kadang bikin kepala gatal.

Apa itu sebenarnya pajak penghasilan, dan kenapa penting banget?

Secara sederhana, pajak penghasilan (PPh) adalah kewajiban yang dikenakan pada orang pribadi maupun badan atas penghasilan yang mereka peroleh dalam satu tahun pajak. Penghasilan di sini luas: bisa dari gaji, honor, usaha, sewa, royalti, bunga, bahkan hadiah undian. Asal ada nilai ekonominya, itu bisa dikenai pajak.

Namun, penting dicatat: tidak semua penghasilan langsung dipajaki. Negara menerapkan sistem penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar individu dengan penghasilan rendah tetap aman secara finansial. Jadi, hanya penghasilan yang melewati ambang batas tertentu saja yang dikenai pajak.

Misalnya, untuk tahun pajak terakhir, batas PTKP individu adalah Rp54 juta per tahun. Artinya, kalau penghasilanmu kurang dari itu, secara teori kamu tidak wajib membayar pajak penghasilan.

Tapi jangan buru-buru senang dulu. Kalau kamu bekerja di perusahaan, bisa jadi PPh-mu sudah dipotong langsung tiap bulan. Atau jika kamu freelancer, kamu bisa saja lupa mencatat penghasilan dari proyek-proyek kecil. Di sinilah pentingnya literasi pajak—bukan hanya agar taat hukum, tapi juga supaya tidak kebobolan saat diperiksa pajak mendadak.

Jenis-Jenis Pajak Penghasilan yang Perlu Diketahui

Pajak Penghasilan

Banyak orang mengira PPh itu satu jenis saja. Padahal, berdasarkan UU Pajak Penghasilan, terdapat sejumlah kategori dengan kode dan karakteristik masing-masing. Ini penting untuk memahami karena setiap jenis memiliki cara pelaporan dan perhitungannya sendiri.

1. PPh Pasal 21

Jenis pajak yang paling sering kita temui. Dikenakan pada penghasilan yang diterima oleh pegawai, pensiunan, PNS, bahkan komisaris dan tenaga ahli. Biasanya dipotong oleh pemberi kerja.

Contoh: kamu kerja di perusahaan dengan gaji Rp7 juta per bulan, maka perusahaan akan menghitung dan menyetor PPh 21 atas namamu.

2. PPh Pasal 23

Dikenakan atas penghasilan berupa royalti, bunga, dividen, hadiah, jasa, dan sewa. Biasanya dialami oleh vendor, penyedia jasa, atau freelance.

Contoh: kamu freelance desain logo untuk startup, lalu dibayar Rp10 juta. Klien wajib memotong 2% dan menyetor ke kas negara atas namamu.

3. PPh Pasal 25

Ini sistem cicilan untuk pajak penghasilan tahunan bagi pengusaha atau profesional bebas. Biasanya dihitung berdasar estimasi penghasilan tahun sebelumnya dan dibayar bulanan.

4. PPh Pasal 29

Selisih antara pajak yang seharusnya dibayar dengan jumlah yang telah dibayar (melalui Pasal 21, 23, atau 25). Kalau kurang, maka PPh 29 adalah tagihanmu di akhir tahun.

5. PPh Final

Jenis ini punya tarif tetap dan tidak perlu dihitung progresif. Contohnya adalah pajak UMKM dengan tarif 0,5% dari omzet. Jadi kalau kamu jualan online dan omzetmu Rp100 juta sebulan, maka kamu bayar Rp500 ribu.

6. PPh Badan

Dikenakan kepada badan usaha seperti PT, CV, dan koperasi. Tarifnya bisa mencapai 22% dari laba bersih, meskipun ada relaksasi bagi usaha kecil.

Masing-masing jenis pajak ini punya kewajiban yang berbeda: ada yang disetor bulanan, ada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, ada juga yang bisa dikreditkan. Kalau kamu bingung, coba simpan daftar ini dan cocokkan dengan status pekerjaanmu.

Cara Menghitung dan Membayar Pajak Penghasilan

Sekarang kita masuk ke bagian yang agak teknis tapi penting banget: menghitung pajak penghasilan. Jangan khawatir, kita akan pakai ilustrasi yang sederhana dan relevan.

Misalnya kamu seorang pegawai swasta dengan gaji bulanan Rp10 juta (bruto), belum menikah, dan tidak punya tanggungan. Maka hitungannya begini:

  1. Gaji Setahun:
    Rp10 juta x 12 = Rp120 juta

  2. Biaya Jabatan (5% dari gaji, maksimal Rp6 juta/tahun):
    Rp6 juta

  3. Iuran BPJS Ketenagakerjaan (misalnya Rp150 ribu/bulan):
    Rp1,8 juta/tahun

  4. Penghasilan Neto:
    Rp120 juta – Rp6 juta – Rp1,8 juta = Rp112,2 juta

  5. PTKP (Belum Kawin):
    Rp54 juta

  6. Penghasilan Kena Pajak:
    Rp112,2 juta – Rp54 juta = Rp58,2 juta

  7. Hitung Pajak Terutang (progresif):

    • 5% pertama dari Rp50 juta = Rp2,5 juta

    • 15% dari sisanya (Rp8,2 juta) = Rp1,23 juta
      Total = Rp3,73 juta per tahun

Jika perusahaanmu sudah memotong PPh 21 tiap bulan, maka kamu tinggal cek apakah totalnya sudah sesuai. Kalau kamu freelance atau pemilik bisnis, kamu perlu menyetor sendiri ke kas negara melalui e-billing.

Cara membayar pajak:

  1. Buat ID billing di situs DJP Online (pajak.go.id)

  2. Pilih jenis PPh yang sesuai (21, 23, atau final)

  3. Bayar lewat bank atau mobile banking

  4. Simpan bukti setor sebagai arsip

Catatan:
Banyak orang salah kaprah soal laporan SPT. Lapor itu bukan berarti harus bayar. Bisa jadi kamu kelebihan bayar dan justru dapat restitusi (pengembalian pajak). Jadi, jangan takut lapor ya.

Pajak Penghasilan dan Dinamika Dunia Kerja Baru

Perubahan dunia kerja beberapa tahun terakhir—terutama setelah pandemi—membawa tantangan baru dalam urusan pajak. Kini makin banyak orang bekerja sebagai freelancer, pekerja remote, content creator, affiliate marketer, dan bahkan trader crypto.

Lalu, bagaimana posisi mereka terhadap pajak penghasilan?

Jawabannya: tetap wajib bayar. Apapun sumber penghasilanmu, selama memenuhi syarat minimum dan berlangsung berulang, maka itu tergolong objek pajak.

Sayangnya, banyak dari mereka yang belum paham. Ada yang berpikir, “Ah, ini cuma honor dari endorse kecil, masa harus lapor?” Padahal, akumulasi pendapatan dari berbagai platform bisa besar. Bahkan, Ditjen Pajak sekarang mulai melakukan penelusuran terhadap transaksi digital via e-commerce, rekening bank, dan NPWP digital.

Tips pajak untuk profesi non-karyawan:

  • Catat semua penghasilan masuk, bahkan yang kecil

  • Pisahkan rekening pribadi dan bisnis

  • Gunakan aplikasi pembukuan sederhana (Excel atau digital tools)

  • Cek apakah kamu masuk kriteria UMKM (bisa pakai tarif final 0,5%)

  • Daftarkan NPWP dan gunakan e-filing untuk laporan tahunan

Salah satu contoh menarik datang dari Andira, content creator TikTok dengan 300 ribu followers. Awalnya, dia tidak tahu bahwa fee dari brand masuk kategori penghasilan. Tapi setelah belajar pajak UMKM, ia kini rutin setor PPh Final 0,5% dari pendapatan bulanan. “Lebih enak bayar kecil tapi aman, daripada nunggu ditegur,” ujarnya.

Pajak Penghasilan, Kepercayaan Publik, dan Masa Depan Digitalisasi Pajak

Di balik semua rumus dan aturan, pajak penghasilan sejatinya adalah urusan kepercayaan. Masyarakat mau bayar pajak jika merasa uangnya digunakan dengan baik. Dan pemerintah bertanggung jawab memberikan transparansi dalam anggaran dan program sosial.

Dalam beberapa tahun terakhir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai agresif melakukan digitalisasi sistem pajak. Mulai dari e-filing, e-billing, hingga e-SPT semua bisa diakses via laptop atau smartphone.

Target jangka panjangnya adalah integrasi data lintas sektor: rekening bank, NPWP digital, transaksi e-wallet, dan laporan instansi keuangan. Harapannya, sistem pajak akan makin rapi, dan kebocoran bisa ditekan. Namun, ini juga berarti masyarakat harus lebih sadar dan siap menyajikan data penghasilan secara jujur.

Ada pula wacana implementasi Pajak Penghasilan Minimum Global, mengikuti tren OECD agar korporasi besar tidak bisa lari dari kewajiban dengan menyimpan aset di negara pajak rendah. Bagi Indonesia, ini membuka peluang meningkatkan penerimaan negara secara adil.

Meski demikian, tantangan tetap ada:

  • Rendahnya literasi pajak di kalangan pelaku UMKM

  • Ketimpangan antara wajib pajak pribadi dan korporasi besar

  • Kurangnya edukasi sejak usia sekolah soal pajak

Maka, solusi paling realistis adalah kolaborasi: edukasi dari pemerintah, kemauan belajar dari masyarakat, dan penggunaan teknologi sebagai alat bantu.

Penutup: Bayar Pajak Bukan Beban, Tapi Bentuk Kedaulatan

Pajak penghasilan mungkin bukan topik yang seksi. Tapi ia adalah salah satu tulang punggung utama negara. Dengan memahami dan menjalankan kewajiban ini, kita bukan cuma patuh hukum—kita juga ikut membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dan layanan publik lainnya.

Bagi generasi muda, jangan tunggu jadi pengusaha besar untuk belajar pajak. Mulailah dari penghasilan kecil, proyek freelance, atau gaji pertama. Karena di era digital, semua terdata dan terhubung.

Dan pada akhirnya, seperti kata slogan lama yang masih relevan:
“Orang Bijak, Taat Pajak.”

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi

Baca Juga Artikel dari: Memahami Distribusi Pendapatan: Menilik Ketimpangan dan Solusi Nyatanya

Author