Inflasi Inti

Inflasi Inti: Kunci Menakar Stabilitas Ekonomi di Balik Konsumsi

Jakarta, turkeconom.com – Ketika mendengar kata “inflasi”, banyak dari kita langsung membayangkan harga bahan pokok yang melonjak, ongkos hidup yang makin berat, atau nilai uang yang makin lemah. Tapi ada satu istilah dalam dunia ekonomi yang lebih halus tapi tak kalah penting: inflasi inti.

Inflasi inti (core inflation) bukan sekadar versi lain dari inflasi umum. Ia adalah alat ukur yang lebih spesifik dan cermat, karena menghilangkan fluktuasi harga dari komponen yang sangat volatil, seperti bahan pangan segar dan energi. Jadi, daripada melihat gejolak harga cabai atau BBM yang bisa berubah setiap pekan, inflasi fokus pada perubahan harga barang dan jasa yang lebih stabil.

Tujuannya? Memberi sinyal lebih akurat soal tren jangka panjang dalam ekonomi.

Bank Indonesia sendiri menggunakan inflasi inti sebagai indikator utama dalam menyusun kebijakan moneter, termasuk menentukan suku bunga acuan. Jika inflasi umum naik karena harga beras melonjak akibat gagal panen, itu belum tentu berarti ekonomi terlalu panas. Tapi kalau inflasi  ikut naik, artinya permintaan domestik sedang menguat—dan di sinilah perhatian bank sentral akan lebih serius.

Bagi masyarakat umum, istilah ini memang belum terlalu populer. Tapi dalam ruang rapat para pengambil kebijakan, inflasi inti adalah bintang utama. Bahkan dalam pidato Gubernur BI atau rilis data BPS tiap bulan, angka ini selalu disorot dengan tinta tebal.

Cara Menghitung Inflasi Inti dan Komponen yang Tersaring

Inflasi Inti

Berbeda dari inflasi umum yang mencakup seluruh komponen dalam Indeks Harga Konsumen (IHK), inflasi inti disaring dari beberapa komponen harga yang cenderung fluktuatif dan tidak mencerminkan permintaan fundamental.

Secara teknis, perhitungan inflasi di Indonesia dilakukan dengan dua pendekatan:

  1. Exclusion-based: metode yang menghapus komponen harga bergejolak (volatile foods) dan harga yang diatur pemerintah (administered prices), seperti BBM, tarif listrik, dan angkutan umum.

  2. Statistical filtering: pendekatan ekonometrika yang menyaring data berdasarkan pola musiman dan tren jangka panjang.

Komponen yang umumnya masuk dalam inflasi inti antara lain:

  • Harga makanan olahan

  • Biaya sewa rumah

  • Tarif pendidikan

  • Biaya kesehatan

  • Pakaian jadi

  • Jasa perawatan dan rekreasi

Artinya, inflasi inti lebih mencerminkan kondisi permintaan domestik yang stabil dan tren daya beli masyarakat, ketimbang efek dari peristiwa eksternal seperti cuaca ekstrem atau gejolak geopolitik.

Contoh: pada suatu bulan, harga cabai dan bawang merah bisa naik drastis karena gagal panen, lalu menekan inflasi umum jadi 5%. Tapi jika inflasi hanya naik tipis di kisaran 2,5%, maka ekonom akan melihat bahwa lonjakan inflasi itu tidak terlalu mengkhawatirkan secara fundamental.

Mengapa Inflasi Inti Jadi Acuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia?

Bank Indonesia (BI) punya tugas besar: menjaga stabilitas nilai rupiah. Salah satu alat utamanya adalah mengatur suku bunga acuan (BI Rate/BI7DRR). Tapi pertanyaannya, indikator apa yang mereka pakai untuk menentukan langkah itu? Jawabannya: salah satunya adalah inflasi inti.

Inflasi inti dipandang sebagai refleksi dari permintaan domestik. Jika inflasi naik tinggi, itu bisa menandakan konsumsi masyarakat sedang memanas, dan mungkin terjadi tekanan terhadap keseimbangan ekonomi. Maka, BI bisa memutuskan menaikkan suku bunga untuk menahan laju konsumsi dan menstabilkan harga.

Sebaliknya, jika inflasi rendah, itu bisa jadi sinyal ekonomi sedang lesu. Dalam situasi seperti ini, bank sentral bisa menurunkan suku bunga untuk mendorong konsumsi dan investasi.

Contoh Nyata:

Pada tahun 2020, saat pandemi COVID-19 menghantam, inflasi inti Indonesia sempat turun drastis hingga di bawah 2%. Ini mencerminkan lemahnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Bank Indonesia pun merespons dengan menurunkan suku bunga secara bertahap untuk menstimulasi ekonomi.

Sementara pada 2022, ketika harga komoditas global melonjak akibat perang Ukraina dan tekanan rantai pasok, inflasi umum sempat naik. Tapi BI tetap menunggu sinyal dari inflasi inti sebelum mengambil langkah menaikkan suku bunga. Ini membuktikan bahwa dalam menentukan arah kebijakan, inflasi adalah kompas utamanya.

Hubungan Inflasi Inti dengan Daya Beli, Upah, dan Kesejahteraan

Tak bisa dimungkiri, inflasi inti punya kaitan erat dengan kehidupan sehari-hari—meski tak selalu langsung terasa seperti inflasi harga bahan pokok.

Ketika inflasi naik, artinya harga barang dan jasa esensial yang kita konsumsi secara rutin juga naik. Ini bisa memengaruhi daya beli, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan tetap.

Ilustrasi:

Katakanlah biaya les anak, tarif dokter, dan harga sabun cair semua naik secara perlahan selama enam bulan. Ini mencerminkan kenaikan inflasi inti. Kalau gaji tidak naik mengikuti tren itu, maka daya beli akan menurun. Masyarakat akan mulai menekan pengeluaran, menunda belanja non-esensial, dan konsumsi melambat.

Sebaliknya, jika inflasi rendah tapi pendapatan masyarakat tumbuh, maka kesejahteraan meningkat. Konsumen bisa lebih leluasa memilih produk, menabung, bahkan berinvestasi.

Beberapa pengamat ekonomi juga menilai bahwa stabilnya inflasi inti bisa jadi indikator bahwa pengusaha belum cukup menaikkan harga karena daya beli belum kuat. Jadi, angka ini juga mencerminkan psikologi pasar—antara kepercayaan pelaku usaha dan kemampuan beli konsumen.

Tak heran jika pemerintah sangat menjaga agar inflasi tetap di kisaran target (biasanya 2–4%). Karena fluktuasi tajam akan mengganggu stabilitas harga dan bisa memicu spiral inflasi upah—harga naik, gaji minta naik, lalu harga naik lagi, dan seterusnya.

Tantangan dan Dinamika Inflasi Inti di Indonesia: Dari Global ke Domestik

Mengelola inflasi inti bukan perkara mudah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Ada banyak tantangan, baik dari dalam negeri maupun pengaruh global, yang bisa mengganggu kestabilan indikator ini.

1. Keterkaitan dengan Harga Global

Meski inflasi tidak mencakup harga energi, efek second-round dari lonjakan harga minyak bisa menyusup lewat biaya transportasi, logistik, dan distribusi, yang akhirnya menaikkan harga barang konsumsi.

2. Ketergantungan pada Impor

Indonesia masih banyak mengimpor bahan baku industri dan barang modal. Jika nilai tukar melemah, biaya produksi naik, dan produsen bisa menaikkan harga—mendorong inflasi inti ke atas.

3. Perilaku Konsumen Urban

Masyarakat perkotaan dengan gaya hidup konsumtif sering kali mempercepat pergeseran permintaan barang dan jasa, yang bisa mendorong inflasi jika tidak disertai peningkatan pasokan.

4. Upah Minimum dan Tenaga Kerja

Kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) tiap tahun bisa mendorong pelaku usaha menyesuaikan harga. Ini adalah jalur transmisi penting antara kebijakan sosial dan angka inflasi inti.

Bank Indonesia pun terus menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan kontrol inflasi. Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun tantangan eksternal meningkat (seperti perang dagang, pandemi, dan inflasi global), BI cukup berhasil menjaga inflasi dalam koridor target, menjaga kepercayaan pasar dan stabilitas makroekonomi.

Penutup: Inflasi Inti Bukan Sekadar Angka—Ia Cermin Stabilitas dan Keseimbangan

Inflasi inti bukan topik populer dalam obrolan warung kopi. Tapi bagi dunia kebijakan, ia adalah barometer utama untuk menakar arah angin ekonomi. Dari suku bunga, daya beli, hingga investasi jangka panjang—semuanya punya benang merah ke angka inflasi.

Memahaminya bukan hanya penting bagi ekonom atau bank sentral, tapi juga bagi pelaku usaha, investor, bahkan masyarakat umum. Karena di balik angka yang terlihat tenang, bisa jadi ada sinyal penting tentang kesehatan ekonomi kita.

Jadi, lain kali saat membaca berita ekonomi dan menemukan istilah “inflasi tetap terjaga di level 2,8% yoy”, jangan lewatkan. Bisa jadi itu pertanda baik, atau alarm halus tentang arah ekonomi beberapa bulan ke depan.

Karena ekonomi itu bukan tentang grafik atau neraca semata. Tapi tentang bagaimana angka-angka itu diterjemahkan menjadi kesejahteraan, kestabilan, dan peluang hidup yang lebih baik untuk semua.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi

Baca Juga Artikel dari: Kebijakan Proteksionisme: Pengertian, Tujuan, Dampak, dan Contoh di Indonesia

Kunjungi Website Resmi: kasihwede

Author