Indeks Pembangunan

Indeks Pembangunan Manusia: Kualitas Ekonomi Indonesia

Jakarta, turkeconom.com – Setiap tahun, dunia ekonomi dan kebijakan publik selalu menyoroti satu indikator penting yang disebut Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (Human Development Index/HDI).
Angka ini seolah sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan kisah besar di balik kehidupan masyarakat — tentang pendidikan, kesehatan, hingga kesempatan untuk hidup layak.

IPM pertama kali diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990.
Tujuannya jelas: mengukur kemajuan pembangunan manusia tidak hanya dari sisi ekonomi, tapi juga dari dimensi kualitas hidup.
Dengan kata lain, IPM tidak menilai negara dari seberapa kaya pendapatannya, melainkan seberapa baik warganya bisa menikmati hidup yang bermartabat.

Di Indonesia, IPM digunakan sebagai tolok ukur penting dalam perencanaan pembangunan daerah dan nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sejak tahun 2010 hingga 2024, nilai IPM Indonesia terus meningkat — menandakan bahwa kualitas hidup masyarakat secara umum mengalami perbaikan.
Namun, di balik kenaikan itu, terdapat tantangan besar: kesenjangan antarwilayah, ketimpangan pendidikan, dan akses terhadap layanan kesehatan yang belum merata.

Bayangkan seorang anak di Papua yang harus berjalan berjam-jam untuk mencapai sekolah, dibandingkan dengan anak di Jakarta yang memiliki akses ke internet, perpustakaan digital, dan tenaga pengajar profesional.
Keduanya sama-sama warga Indonesia, tetapi kesempatan mereka untuk berkembang sangat berbeda.
Dan di situlah IPM menjadi “cermin” yang menunjukkan seberapa adil pembangunan manusia dijalankan di negeri ini.

Tiga Pilar Utama IPM: Kesehatan, Pendidikan, dan Standar Hidup Layak

Indeks Pembangunan

Untuk memahami IPM, kita perlu mengenal tiga pilar utamanya — kesehatan, pendidikan, dan pendapatan.
Ketiganya saling terkait dan membentuk gambaran utuh tentang kesejahteraan manusia.

1. Kesehatan: Umur Panjang dan Kehidupan Berkualitas

Aspek pertama yang diukur adalah angka harapan hidup.
Bukan hanya berapa lama seseorang hidup, tapi juga bagaimana kualitas hidupnya selama itu.
Seseorang yang hidup hingga usia 75 tahun tetapi dengan kondisi sakit-sakitan tentu berbeda dengan mereka yang bisa aktif dan produktif hingga usia senja.

Indonesia menunjukkan kemajuan dalam aspek ini.
Menurut BPS, angka harapan hidup nasional pada 2024 mencapai sekitar 74,2 tahun, naik signifikan dibandingkan satu dekade sebelumnya.
Kebijakan seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan peningkatan layanan fasilitas kesehatan primer terbukti membantu.

Namun, di sisi lain, tantangan masih besar.
Di daerah terpencil, akses ke rumah sakit dan tenaga medis masih terbatas.
Kasus gizi buruk dan stunting pun masih menghantui sebagian masyarakat, terutama di wilayah Indonesia bagian timur.
Padahal, kesehatan adalah fondasi dari produktivitas ekonomi — sulit membangun bangsa jika rakyatnya tidak sehat.

2. Pendidikan: Jalan Panjang Menuju Kesetaraan

Pilar kedua, pendidikan, diukur melalui dua indikator: rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah.
Keduanya menunjukkan seberapa banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk belajar dan seberapa besar peluang generasi muda untuk memperoleh pendidikan di masa depan.

Secara nasional, rata-rata lama sekolah di Indonesia mencapai sekitar 8,6 tahun, setara dengan tingkat SMP.
Sementara harapan lama sekolah mencapai 13,1 tahun, menandakan bahwa secara ideal, anak Indonesia kini diharapkan menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi.

Kabar baiknya, kemajuan ini sebagian besar didorong oleh digitalisasi pendidikan dan program wajib belajar.
Namun, kualitas pendidikan belum merata.
Guru yang tidak seimbang secara kuantitas dan kompetensi di berbagai daerah masih menjadi isu besar.
Belum lagi masalah fasilitas belajar yang minim dan ketimpangan literasi digital.

Bisa jadi, seorang siswa di Yogyakarta sudah terbiasa dengan pelajaran berbasis teknologi, sementara di pelosok Sulawesi, siswa lain masih harus berbagi satu buku untuk tiga orang.
Perbedaan kecil ini, jika dibiarkan, bisa menciptakan jurang kompetensi manusia yang lebar di masa depan.

3. Standar Hidup Layak: Lebih dari Sekadar Pendapatan

Dimensi ketiga adalah pendapatan nasional bruto per kapita (GNI per capita).
Indikator ini mengukur kemampuan ekonomi seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar: makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan hiburan.

Dalam konteks ekonomi Indonesia, kenaikan GNI per kapita yang stabil menunjukkan peningkatan daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, masalahnya bukan hanya soal besar kecilnya pendapatan, tapi seberapa merata pendistribusiannya.

Ketimpangan ekonomi masih menjadi bayang-bayang di banyak daerah.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar kekayaan nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara wilayah timur tertinggal jauh.
Artinya, meski IPM nasional naik, ketimpangan antarwilayah masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Indeks Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi: Hubungan yang Tak Terpisahkan

Sering kali, orang beranggapan bahwa ekonomi yang kuat otomatis meningkatkan IPM.
Padahal, hubungan antara keduanya bersifat dua arah: pertumbuhan ekonomi bisa meningkatkan IPM, dan IPM yang tinggi bisa mendorong ekonomi yang lebih baik.

Mari ambil contoh sederhana.
Sebuah daerah dengan IPM tinggi berarti memiliki penduduk yang sehat, terdidik, dan produktif.
Kondisi ini menciptakan tenaga kerja berkualitas yang mampu berinovasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, ketika IPM rendah, produktivitas masyarakat pun menurun — ujungnya, roda ekonomi melambat.

Menurut teori ekonomi pembangunan, manusia adalah aset utama pembangunan.
Tanpa manusia yang berkualitas, infrastruktur, investasi, dan kebijakan ekonomi sehebat apa pun tidak akan berjalan maksimal.

Sebagai ilustrasi, Jepang pada era pasca-Perang Dunia II bukanlah negara kaya sumber daya alam.
Namun, mereka fokus pada pembangunan manusia: memperkuat pendidikan, disiplin kerja, dan etos inovasi.
Hasilnya, Jepang menjelma menjadi kekuatan ekonomi global dalam waktu singkat.

Indonesia bisa belajar dari situ.
Kita memiliki potensi demografis luar biasa — bonus demografi dengan lebih dari 190 juta penduduk usia produktif.
Namun, tanpa investasi besar pada manusia — terutama di bidang pendidikan dan kesehatan — potensi itu bisa berubah menjadi beban sosial.

Ekonom lokal sering menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa peningkatan IPM adalah pertumbuhan semu.
Karena apa artinya angka PDB tinggi, jika masih banyak anak yang tidak sekolah atau masyarakat yang hidup di bawah garis layak?

Peta Ketimpangan IPM di Indonesia: Antara Jawa, Sumatra, dan Timur

Meningkatnya IPM nasional bukan berarti pemerataan pembangunan manusia sudah tercapai.
Bila kita melihat lebih dekat, ada kesenjangan yang cukup besar antarwilayah.

Pulau Jawa: Motor Kemajuan

Wilayah seperti DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Barat memiliki IPM di atas rata-rata nasional.
Jakarta bahkan menjadi salah satu provinsi dengan IPM tertinggi di Indonesia, berkat infrastruktur lengkap, pendidikan berkualitas, dan lapangan kerja luas.
Namun, tingginya IPM di Jawa juga menjadi paradoks: biaya hidup tinggi, polusi meningkat, dan tekanan sosial ekonomi juga lebih berat.

Sumatra dan Kalimantan: Berkembang Pesat tapi Belum Merata

Sumatra dan Kalimantan memiliki potensi besar dari sektor energi dan perkebunan.
Namun, pembangunan manusia di wilayah ini belum sepenuhnya sejalan dengan kekayaan alam yang mereka miliki.
Keterbatasan akses pendidikan tinggi dan layanan kesehatan di daerah pedalaman masih menjadi hambatan.

Indonesia Timur: Ketertinggalan yang Harus Dikejar

Papua dan Nusa Tenggara masih berada di posisi terendah dalam peringkat IPM nasional.
Bukan karena kurangnya semangat, tetapi karena kondisi geografis, infrastruktur terbatas, dan minimnya tenaga ahli.
Pemerintah sudah mulai melakukan intervensi melalui program seperti Desa Cerdas dan Dana Otonomi Khusus, tetapi hasilnya membutuhkan waktu panjang untuk terlihat signifikan.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia tidak bisa diseragamkan.
Setiap daerah punya tantangan dan karakteristik sendiri, sehingga kebijakan harus bersifat kontekstual, bukan sekadar copy-paste dari pusat.

Tantangan dan Masa Depan IPM Indonesia

Memasuki era pasca-pandemi, tantangan pembangunan manusia semakin kompleks.
Beberapa isu besar yang kini dihadapi Indonesia antara lain:

a. Transformasi Digital

Pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan pekerjaan.
Namun, tidak semua daerah siap.
Masih banyak sekolah tanpa koneksi internet atau guru yang belum terbiasa dengan teknologi digital.
Tanpa pemerataan akses ini, digital divide bisa memperlebar jurang IPM.

b. Kualitas Pekerjaan

Meski lapangan kerja bertambah, banyak yang bersifat informal dan tidak stabil.
Upah rendah, jaminan sosial minim, dan produktivitas rendah menjadi masalah klasik yang menghambat peningkatan kesejahteraan.

c. Akses Pendidikan Tinggi

Masuk perguruan tinggi masih menjadi tantangan besar, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Program beasiswa memang ada, tapi daya saingnya tinggi dan kuotanya terbatas.

d. Isu Kesehatan Mental

Aspek ini sering diabaikan dalam pengukuran IPM, padahal memiliki dampak besar terhadap produktivitas dan kualitas hidup.
Generasi muda Indonesia kini menghadapi tekanan sosial yang tinggi — dari karier, keluarga, hingga media sosial.

e. Ketimpangan Gender

Keterlibatan perempuan dalam pendidikan dan dunia kerja terus meningkat, tapi masih ada bias budaya yang menghambat.
Perempuan di daerah pedesaan, misalnya, sering menghadapi hambatan struktural untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja di sektor formal.

Jika masalah-masalah ini tidak diatasi, IPM Indonesia bisa stagnan — bahkan menurun di tengah gempuran globalisasi dan kompetisi internasional.

Upaya Pemerintah dan Arah Pembangunan ke Depan

Pemerintah Indonesia telah menempatkan pembangunan manusia sebagai prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Beberapa langkah strategis yang tengah dilakukan meliputi:

  1. Peningkatan Akses Pendidikan Berkualitas
    Melalui program Merdeka Belajar, digitalisasi sekolah, dan peningkatan kesejahteraan guru.

  2. Perluasan Layanan Kesehatan Universal
    Melalui BPJS Kesehatan dan pembangunan puskesmas di daerah terpencil.

  3. Peningkatan Keterampilan dan Produktivitas Tenaga Kerja
    Dengan program prakerja dan pelatihan vokasi yang disesuaikan dengan kebutuhan industri.

  4. Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Rentan
    Melalui pelatihan kewirausahaan, akses permodalan, dan perlindungan sosial.

  5. Transformasi Digital Nasional
    Untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat siap menghadapi ekonomi berbasis teknologi.

Keberhasilan semua program ini bergantung pada kolaborasi antar kementerian, pemerintah daerah, dan sektor swasta.
Karena pembangunan manusia tidak bisa dikerjakan oleh satu pihak saja.

Kesimpulan: IPM sebagai Kompas Moral Pembangunan

Indeks Pembangunan Manusia bukan hanya statistik — ia adalah cerita tentang siapa kita sebagai bangsa.
Tentang sejauh mana kita menghargai manusia sebagai inti dari pembangunan, bukan sekadar objek ekonomi.

IPM yang tinggi berarti masyarakat sehat, cerdas, dan sejahtera.
Namun, IPM yang merata berarti pembangunan yang adil dan inklusif.

Indonesia telah melangkah jauh, tapi perjalanan masih panjang.
Kita mungkin telah membangun gedung pencakar langit dan jalan tol megah, tapi pembangunan sejati terjadi ketika setiap anak Indonesia, di manapun ia lahir, punya kesempatan yang sama untuk bermimpi dan tumbuh.

Di masa depan, keberhasilan ekonomi Indonesia tidak lagi hanya diukur dari pertumbuhan angka PDB, tapi dari seberapa bahagia dan bermakna kehidupan rakyatnya.
Dan di situlah, Indeks Pembangunan Manusia menjadi cermin paling jujur — bukan tentang kekayaan negara, tapi tentang kemanusiaan yang tumbuh di dalamnya.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi

Baca Juga Artikel Dari: Kebijakan Hukum Nasional: Pembaruan Sistem Hukum Indonesia

Author