Pengentasan Kemiskinan

Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi

Jakarta, turkeconom.com – Di balik deretan gedung pencakar langit dan geliat ekonomi digital, Indonesia masih menyimpan satu paradoks: kemiskinan. Sebuah realitas yang tidak bisa diabaikan meski angka-angkanya tampak menurun di atas kertas.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2024 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 25,22 juta orang, atau 9,4 persen dari total populasi. Angka ini memang turun dibandingkan tahun-tahun pandemi, namun tetap menjadi sinyal bahwa pengentasan kemiskinan belum selesai.

Bicara soal kemiskinan bukan hanya tentang statistik. Di balik angka itu, ada wajah-wajah manusia: seorang petani yang hasil panennya tak sebanding dengan biaya pupuk, ibu rumah tangga yang berjuang memenuhi kebutuhan gizi anak, atau pekerja informal yang kehilangan penghasilan akibat perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi global.

Dalam konteks ekonomi makro, kemiskinan juga menjadi tantangan serius bagi pertumbuhan inklusif. Karena tanpa pemerataan, pertumbuhan ekonomi tinggi sekalipun tidak akan berarti apa-apa bagi mereka yang tertinggal.

Presiden dan para menteri kerap menegaskan pentingnya menekan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen pada 2025. Namun, target ambisius itu menuntut lebih dari sekadar program sosial; ia membutuhkan transformasi struktural—dari cara pemerintah merancang kebijakan, hingga bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.

Memahami Akar Kemiskinan: Bukan Sekadar Kurangnya Uang

Pengentasan Kemiskinan

Satu kesalahan umum dalam memahami kemiskinan adalah menganggapnya hanya sebagai kekurangan pendapatan. Padahal, kemiskinan jauh lebih kompleks. Ia mencakup dimensi sosial, pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap kesempatan.

Kita ambil contoh sederhana: seorang petani di daerah terpencil mungkin memiliki lahan kecil dan bekerja keras setiap hari. Tapi karena tidak punya akses ke teknologi pertanian modern, harga pupuk tinggi, dan jalur distribusi panjang, hasilnya tetap tidak cukup. Ia tidak miskin karena malas, melainkan karena struktur ekonomi yang belum berpihak.

Begitu pula di perkotaan, banyak pekerja informal seperti pengemudi ojek online, pedagang kaki lima, atau buruh pabrik harian yang rentan terhadap fluktuasi harga dan inflasi. Kenaikan harga beras atau BBM bisa langsung memukul daya beli mereka.

Faktor lain yang memperkuat lingkaran kemiskinan antara lain:

  • Pendidikan rendah, yang membatasi peluang kerja dan produktivitas.

  • Kesehatan buruk, terutama gizi buruk pada anak yang berdampak jangka panjang.

  • Ketimpangan gender, di mana perempuan seringkali tidak memiliki akses setara terhadap pekerjaan dan aset.

  • Akses keuangan terbatas, membuat masyarakat miskin sulit memulai usaha atau menghadapi krisis ekonomi.

Ekonom dari UI, Faisal Basri, pernah mengatakan, “Kemiskinan di Indonesia sering kali bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena distribusinya tidak merata.”
Pernyataan itu menyoroti akar persoalan yang paling dalam — ketimpangan struktural.

Program Pemerintah: Dari Bantuan Sosial hingga Pemberdayaan

Sejak era reformasi, berbagai program pengentasan kemiskinan telah diluncurkan, mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Kartu Prakerja.

Masing-masing memiliki tujuan berbeda, tapi semuanya diarahkan untuk meningkatkan daya beli dan produktivitas masyarakat miskin.

a. Program Keluarga Harapan (PKH)

PKH menargetkan keluarga miskin dengan bantuan bersyarat. Artinya, keluarga penerima wajib memastikan anaknya bersekolah dan memeriksakan kesehatan secara rutin. Program ini terbukti menurunkan angka putus sekolah dan memperbaiki gizi anak.

b. Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)

Program ini membantu masyarakat miskin membeli kebutuhan pokok seperti beras dan telur dengan kartu elektronik. Selain mengurangi beban hidup, program ini juga mendorong digitalisasi ekonomi desa.

c. Kartu Prakerja dan Pemberdayaan SDM

Kartu Prakerja tidak hanya membantu mereka yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan. Walau menuai kritik di awal, kini program ini mulai menunjukkan hasil dalam mendorong kemandirian ekonomi.

Namun, semua program ini menghadapi tantangan klasik: pendataan yang tidak akurat, tumpang tindih antar kementerian, dan birokrasi lamban.

Contohnya, masih banyak kasus di mana penerima bantuan ganda atau justru orang miskin tidak terdaftar. Digitalisasi data sosial melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi langkah penting untuk memperbaiki hal ini.

Selain bantuan langsung, pemerintah juga mulai menekankan pendekatan pemberdayaan, seperti pengembangan Desa Mandiri dan UMKM mikro berbasis komunitas. Pendekatan ini dinilai lebih berkelanjutan karena mengubah penerima bantuan menjadi pelaku ekonomi produktif.

Ekonomi Inklusif: Kunci Pengentasan Kemiskinan Jangka Panjang

Salah satu tantangan besar pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Artinya, pertumbuhan yang memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elit atau wilayah tertentu.

Sebagai contoh, sektor manufaktur dan digital tumbuh pesat, tapi tidak otomatis menyerap tenaga kerja miskin dari sektor tradisional seperti pertanian atau nelayan. Akibatnya, terjadi “kesenjangan produktivitas” antara mereka yang terhubung dengan ekonomi modern dan mereka yang tertinggal.

Ekonom dari Bank Dunia mencatat bahwa setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya menurunkan kemiskinan sekitar 0,2 persen — angka yang tergolong rendah dibanding negara tetangga. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kita belum cukup inklusif.

Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih menyeluruh, seperti:

  1. Meningkatkan akses terhadap pendidikan vokasi agar tenaga kerja miskin bisa masuk ke sektor industri dan digital.

  2. Mengembangkan ekonomi desa berbasis potensi lokal seperti pertanian organik, pariwisata, atau kerajinan tangan.

  3. Memperluas akses keuangan mikro melalui fintech dan koperasi digital.

  4. Investasi pada infrastruktur pedesaan, agar transportasi dan logistik tidak lagi menjadi hambatan ekonomi.

  5. Mendorong kemitraan publik-swasta, di mana perusahaan besar mendukung usaha kecil melalui rantai pasok yang adil.

Kita bisa belajar dari Vietnam, yang sukses menurunkan kemiskinan ekstrem hingga di bawah 3 persen. Kuncinya ada pada pembangunan desa dan akses luas terhadap pendidikan serta pasar ekspor.

Jika Indonesia mampu meniru model semacam itu—tentu dengan adaptasi lokal—maka target pengentasan kemiskinan bukanlah mimpi kosong.

Dampak Pandemi dan Krisis Global: Tantangan Baru, Pendekatan Baru

Pandemi COVID-19 menjadi pukulan keras bagi upaya pengentasan kemiskinan. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, terutama di sektor informal dan pariwisata. Tingkat kemiskinan sempat naik tajam pada 2020, menembus 10,2 persen, sebelum perlahan turun kembali.

Namun efek jangka panjangnya masih terasa. Banyak rumah tangga yang kehilangan tabungan, aset, dan modal usaha kecil. Di sisi lain, inflasi global akibat perang dan perubahan iklim juga menekan harga bahan pokok.

Dalam konteks ini, daya tahan ekonomi keluarga miskin menjadi isu penting. Program bantuan jangka pendek tidak cukup; diperlukan resiliensi ekonomi jangka panjang.

Pemerintah kini mencoba mengubah pendekatan dari sekadar “bantuan” menjadi “pemberdayaan berbasis komunitas”. Misalnya, melalui:

  • Program Desa Inklusif, yang melibatkan masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan pembangunan desa.

  • Ekonomi hijau dan sirkular, di mana warga dilatih mengolah limbah menjadi produk bernilai jual.

  • Digitalisasi UMKM desa, yang membuka akses pasar lebih luas.

Selain itu, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta mulai terlibat aktif dalam pengentasan kemiskinan, tidak hanya melalui CSR, tapi juga inovasi sosial seperti crowdfunding sosial dan platform gotong royong digital.

Sebuah contoh menarik datang dari Yogyakarta, di mana komunitas lokal mengembangkan aplikasi koperasi digital yang membantu pedagang kecil mengakses modal tanpa bunga. Pendekatan semacam ini bukan hanya solutif, tapi juga membangun solidaritas sosial yang menjadi fondasi kuat dalam pemberantasan kemiskinan.

Refleksi dan Harapan: Miskin Bukan Takdir, Tapi Tanggung Jawab Bersama

Kemiskinan sering dianggap sebagai sesuatu yang abadi. Padahal, sejarah membuktikan bahwa ia bisa dikurangi — asal ada komitmen politik, keberanian moral, dan kebijakan yang berpihak.

Pengentasan kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat. Dunia pendidikan bisa menanamkan nilai kewirausahaan sosial. Perusahaan bisa menciptakan lapangan kerja yang adil. Dan individu bisa membantu melalui pembelian produk lokal atau partisipasi dalam program sosial.

Kita sering lupa bahwa setiap rupiah yang kita belanjakan, setiap keputusan bisnis yang kita ambil, dan setiap kebijakan publik yang disusun, semuanya punya implikasi terhadap ketimpangan sosial.

Bayangkan jika ekonomi Indonesia tumbuh 6 persen per tahun, tapi 20 persen penduduk terbawah tidak ikut menikmati hasilnya. Itu bukan kemajuan, melainkan ketimpangan yang lebih dalam.

Karena itu, pengentasan kemiskinan sejati harus melampaui angka. Ia harus bicara tentang martabat manusia, keadilan sosial, dan kesempatan yang setara untuk semua.

Dalam pidato tahunannya, seorang ekonom muda pernah berkata,

“Kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, tapi cermin apakah kita masih punya empati sebagai bangsa.”

Dan di situlah inti dari semuanya. Selama empati masih ada — dalam kebijakan, dalam bisnis, dalam tindakan sehari-hari — maka pengentasan kemiskinan bukan sekadar cita-cita, tapi perjalanan nyata menuju bangsa yang lebih adil dan manusiawi.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Ekonomi

Baca Juga Artikel Dari: Teori Produsen: Fondasi Utama Memahami Dinamika Ekonomi

Author